Rabu, 09 November 2011

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HIV/AIDS

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HIV/AIDS

A. PENGKAJIAN DAN MASALAH KEPERAWATAN
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler. Penurunan imunitas biasanya diikuti oleh adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan.

Tabel 2.1 Pengelompokkan masalah keperawatan klien HIV/AIDS (menurut teori Adaptis)
Masalah Fisik Masalah Psikis Masalah Sosial Masalah Ketergantungan
1. Sistem pernapasan: Dispnea, TBC, dan Pneumonia.
2. Sistem pencernaan: Nausea-Vomiting, diare, Dysphagia, dan BB turun 10 persen/3 bulan.
3. Sistem persarafan: letargi, nyeri sendi, dan ensefalopati.
4. Sistem integumen: edema yang disebabkan Kaposis Sarcoma, lesi di kulit atau mukosa, dan alergi.
5. Lain-lain:demam, dan resiko menularkan. 1. Integritas ego: perasaan tidak berdaya/ putus asa.
2. Faktor stres: baru/lama
3. Respon psikologis: menyang-kal, marah, cemas, dan mudah tersinggung 1. Perasaan minder dan tidak berguna di masyarakat
2. Interaksi sosial: perasaan terisolasi/ ditolak. Perasaan membutuhkan pertolongan orang lain.

Terjadinya penurunan imunitas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan adalah stessor psikososial. Reaksi pertama kali yang menunjukkan setelah seseorang didiagnosis mengidap HIV adalah penolakan dan terkejut/syok atau tidak percaya. Pasien beranggapan bahwa sudah tidak ada harapan lagi dan HIV merupakan penderitaan sepanjang hidup mereka.

B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN PADA KLIEN HIV AIDS
Pada pasien dengan HIV/AIDS, bisa ditemukan beberapa diagnosis keperawatan dan masalah kolaboratif, antara lain:
1. Risiko komplikasi/infeksi sekunder.
2. Wasting syndrome, sarkoma kaposi, dan limfoma.
3. Miningitis, infeksi oportunistik (misalnya kandidiasis, Sitomegalovirus, Herpes, Pneumocystis carini pneumonia).
Menurut NANDA (North America Nursing Diagnosis) Internasional Taksonomi II, diagnosis keperawatan yang kemungkinan ditemukan pada pasien dengan HIV/AIDS antara lain:
1. Intoleransi aktivasi. Hal ini berhubungan dengan kelemahan, kelelahan, efek samping pengobatan, demam, malnutrisi, dan gangguan pertukaran gas (sekunder terhadap infeksi paru atau keganasan).
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif. Hal ini berhubungan dengan penurunan energi, kelelahan, infeksi respirasi, sekresi trakeobronkial, keganasan paru, dan pneumotoraks.
3. Kecemasan, adalah hal berhubungan dengan prognosis yang tidak jelas, persepsi tentang efek penyakit, dan pengobatan terhadap gaya hidup.
4. Gangguan gambaran diri. Hal ini berhubungan dengan penyakit kronis, alopesia, penurunan berat badan, dan gangguan seksual.
5. Ketegangan peran pemberi perawat (aktual atau resiko) berhubungan dengan keparahan penyakit penerima perawatan, tahap penyakit yang tidak dapat diprediksi atau ketidakstabilan dalam perawatan kesehatan penerima perawatan, durasi perawatan yang diperlukan, lingkungan fisik yang tidak adekuat untuk menyediakan perawatan, kurangnya waktu santai dan rekresi bagi pemberi perawatan, serta kompleksitas dan jumlah tugas perawatan.
6. Konfusi (akut atau kronis) berhubungan denagan infeksi susunan saraf pusat (misalnya toksoplasmosis), infeksi sitomegalovirus, limfoma, dan perkembangan HIV.
7. Koping keluarga berkaitan dengan ketidakmampuan untuk berhubungan dengan informasi atau pemahaman yang tidak adekuat atau tidak tepat tentang penyakit kronis, dan perasaan yang tidak terselesaikan secara kronis.
8. Koping tidak efektif berhubungan dengan kerentanan individu dalam situasi krisis (misalnya penyakit terminal).
9. Diare, berhubungan dengan pengobatan, diet, dan infeksi.
10. Kurang aktifitas pengalihan, berhubungan dengan sering atau lamanya pengobatan medis, perawatan di rumah sakit dalam waktu yang lama, bed rest yang lama.
11. Kelelahan berhubungan dengan proses penyakit serta kebutuhan psikologis dan emosional yang sangat banyak.
12. Takut, berhubungan dengan ketidakberdayaan, ancaman yang nyata terhadap kesejahteraan diri sendiri, kemungkinan terkucilkan, dan kemungkinan kematian.
13. Volume cairan kurang, berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat sekunder terhadap lesi oral dan diare
14. Berduka disfungsional/diantisipasi, berhubungan dengan: kematian atau perubahan gaya hidup yang segera terjadi, kehilangan fungsi tubuh, perubahan penampilan, dan ditinggal mati oleh orang yang berarti (orang terdekat).
15. Perubahan pemeliharaan rumah, berhubungan dengan sistem pendukung yang tidak adekuat, kurang pengetahuan, dan kurang akrab dengan sumber-sumber komunitas.
16. Keputusasaan, berhubungan dengan perubahan kondisi fisik dan prognosis yang buruk.
17. Resiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi.
18. Resiko penyebaran infeksi (bukan diagnosis NANDA) faktor risiko; sifat cairan tubuh yang menular.
19. Resiko injuri (jatuh), berhubungan dengan kelelahan, kelemahan, perubahan kognitif, ensefalopati, dan perubahan neuromuskular.
20. Pengelolaan pengobatan yang tidak efektif, berhubungan dengan kompleksitas bahan-bahan pengobatan, kurang pengetahuannya tentang penyakit, obat dan sumber komunitas, depresi, sakit atau malaise.
21. Ketidakseimbangan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh), berhubungan dengan kesulitan menguyah, kehilangan nafsu makan, lesi oral dan esofagus, malabsorbsi gastrointestinal, dan infeksi oportunistik (kandidiasis dan herpes).
22. Nyeri akut, berhubungan dengan:perkembangan penyakit, efek samping pengobatan, odem limfe, sakit kepala sekunder terhadap infeksi SSP, neuropati perifer, dan mialgia parah.
23. Ketidakberdayaan, berhubungan dengan penyakit terminal, bahan pengobatan, dan perjalanan penyakit yang tidak bisa diprediksi.
24. Kurang perawatan diri yang terdiri atas berhias, toileting, instrumental, makan/minum, dan mandi, berhubungan dengan penurunan kekuatan dan ketahanan, intoleransi aktivitas, dan kebigungan akut/kronis.
25. Harga diri rendah (kronis dan situasional) berhubungan dengan penyakit kronis dan krisis situasional.
26. Perubahan persepsi sensori (pendengaran/penglihatan), berhubungan dengan kehilangan pendengaran sekunder efek pengobatan, kehilangan penglihatan akibat infeksi CMV.
27. Pola seksual tidak efektif, berhubungan dengan tindakan seks yang lebih aman, takut terhadap penyebaran infeksi HIV, tidak berhubungan seks, impoten sekunder akibat efek obat.
28. Kerusakan integritas kulit, berhubungan dengan kehilangan otot dan jaringan sekunder akibat perubahan status nutrisi, ekskoriasi perineum sekunder akibat diare dan lesi (kadidiasis dan herpes), dan kerusakan mobilitas fisik.
29. Perubahan pola tidur, berhubungan dengan nyeri, berkeringat di malam hari, obat-obatan, efek samping obat, kecemasan, depresi, dan putus obat (heroin, kokain).
30. Isolasi sosial, berhubungan dengan stigma, ketakutan oran lain terhadap penyebaran infeksi, ketakutan diri sendiri terhadap penyebaran HIV, moral, budaya, agama, penampilan fisik, serta gangguan harga diri dan gambaran diri.

C. RESPON SPESIFIK PADA PENDERITA HIV/AIDS
Selain berdasarkan diagnosis keperawatan, terdapat tanda-tanda lain pada penderita HIV/AIDS. Mereka umumnya memiliki respon yang spesifik yakni:
1. Respons biologi (imunitas)
Secara imunologis, sel T yang terdiri atas limfosit T-helper, disebut limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktifitas sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan ko-reseptornya, bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian ini terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri atas DNA polimerase dan ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA, enzim DNA polimerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan.
Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan masuk ke intisel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copy dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+ mengalami sitolisis
Virus HIV yang berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel- sel mikroglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrite pada kelenjar limfe, sel-sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit. Efek infeksi pada sel mikroglia di otak adalah ensefalopati dan pada sel epitel usus adalah diare yang kronis.
Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeksi virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahun-tahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+ mengalami penurunan 1000/ sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/ setelah terinfeksi 2-10 tahun.
2. Respons Adaftif Psikososial-Spiritual
a. Respons Adaptif Psikologis (Penerimaan Diri)
Pengalaman mengalami suatu penyakit akan membangkitkan berbagai perasaan dan reaksi stress, frustasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa malu, berduka, dan ketidakpastian dengan adaptasi terhadap penyakit.
Tahapan reaksi psikologis pasien HIV adalah terlihat seperti table berikut:

Tabel 2.1 reaksi psikologi pasien HIV
Reaksi Proses psikologis Hal – hal yang biasa dijumpai
1) Shock (kaget, goncangan batin) Merasa bersalah, marah dan tidak berdaya Rasa takut, hilang akal, frustasi, rasa sedih, susah, acting out
2) Mengucil-kan diri Merasa cacat, tidak berguna dan menutup diri Khawatir menginfeksi orang lain, murung
3) Membuka status secara terbatas Ingin tahu reaksi orang lain, pengalihan stress, ingin dicintai Penolakan, stress dan konfrontasi
4) Mencari orang lain yang HIV positif Berbagi rasa, pengenalan, kepercayaan, penguatan, dan dukungan sosial Ketergantungan, campur tangan, tidak percaya pada pemegang rahasia dirinya
5) Status khusus Perubahan keterasingan menjadi manfaat khusus, perbedaan menjadi hal yang istimewa, dibutuhkan oleh yang lainnya Ketergantungan, dikotomi kita dan mereka (semua orang dilihat sebagai terinfeksi HIV dan direspons seperti itu), over indentification
6) Perilaku mementing-kan orang lain Komitmen dan kesatuan kelompok, kepuasaan memberi dan membagi, perasaan sebagai kelompok Pemadaman, reaksi, dan kompensasi yang berlebihan,
7) Penerimaan Integrasi status positif HIV dengan identitas diri, keseimbangan antara kepentingan orang lain dengan diri sendiri, bisa menyebutkan kondisi seseorang Apatis dan sulit berubah

b. Respons Psikologis (Penerimaan Diri) Terhadap Penyakit
Kubler ‘Ross (1974) menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit, yaitu:
1) Pengingkaran (Denial)
Pada tahap pertama, pasien menunjukkan karakteristik perilaku pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosis. Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap penyakitnya atau sudah mengetahui dan mengancam dirinya. Pengingkaran dapat dinilai dari pengucapan pasien “saya di sini istirahat”. Pengingkaran dapat berlaku sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima bahwa alat yang tidak berfungsi dengan baik, kesalahan laboratorium, atau lebih mungkin perkiraan dokter atau perawat tidak kompeten.
2) Kemarahan (Anger)
Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase pertama berubah menjadi marah. Perilaku pasien secara karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahannya pada sesuatu yang ada di sekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan kepada dirinya sendiri dan akan timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama kemarahan adalah perawat. Semua tindakan perawat menjadi serba salah. Pasien banyak menuntut, cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama, sangat marah, mudah tersinggung meminta banyak perhatian dan iri hati.
3) Sikap Tawar Menawar (Bargaining)
Setelah fase marah-marah berlalu, pasien akan berfikir dan merasakan protesnya tidak akan berarti. Pasien mulai merasa bersalah dan memulai berhubungan dengan Tuhan. Pasien berdoa, meminta dan berjanji pada Tuhan, tindakan ini merupakan ciri yang jelas, yaitu pasien menyanggupi menjadi lebih baik lagi jika dia dapat sembuh.
4) Depresi
Selama fase ini pasien sedih/berkabung mengesampingkan rasa marah dan sikap pertahanannya, serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba perilaku yang baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian, dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini.
5) Penerimaan dan Partisipasi
Seiring dengan berlalunya waktu pasien mulai dapat beradaptasi, kepedihan yang menyakitkan berkurang, dan bergerak menuju indentifikasi sebagai seseorang yang memiliki keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai seseorang yang cacat.

c. Respons Adaptif Spiritual
Respon adaptif spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson dan Kauman dan Nipan. Respon adiktif spiritual, meliputi:
1) Harapan yang realistis
2) Tabah dan sabar
3) Pandai mengambil hikmah

d. Respons Adaptif Sosial
Aspek psikososial menurut Stewart (1997) dibedakan menjadi 3 hal yaitu:
1) Stigma sosial dapat memperparah depresi dan pandangan negatif tentang harga diri pasien.
2) Diskriminasi terhadap orang yang terinfeki HIV, misalnya penolakan bekerja dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan. Bagi pasien homoseksual, penggunaan obat-obat narkotika akan berakibat terhadap kurangnya dukungan sosial, hal ini akan memperparah stress pasien.
3) Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan, marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Pasien akhirnya mengkonsumsi obat-obat terlarang untuk menghilangkan stress yang dialami.
Respon adaptif sosial dikembangkan peneliti berdasarkan konsep dari Pearlin dan Aneshense (1986) meliputi tiga hal, yakni :
1) Emosi
2) Cemas
3) Interaksi sosial

D. INTERVENSI KEPERAWATAN PASIEN TERINFEKSI HIV (PHIV)
Prinsip Asuhan Keperawatan PHIV untuk mengubah perilaku ketika berada dalam masa perawatan dan dalam rangka meningkatkan respons imunitas PHIV melalui pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual dilakukan oleh perawat agar dapat menurunkan stressor. Pada bagian ini akan diuraikan tentang (1) Konsep pendekatan asuhan keperawatan di rumah dan (2) Asuhan keperawatan pada respons biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.
Perawat memiliki peran penting dalam asuhan keperawatan pasien HIV/AIDS. Ada dua hal penting yang harus dilakukan perawat yakni:
1. Memfasilitasi strategi koping
a. Memfasilitasi sumber penggunaan potensi diri agar terjadi respons penerimaan sesuai tahapan dari Kubler-Ross.
b. Teknik perilaku, dapat berupaya untuk membantu penyelesaian masalah, memberikan harapan yang realistis, dan mengingatkan pasien agar pandai mengambil hikmah.
c. Teknik perilaku, dilakukan dengan cara mengajarkan perilaku yang mendukung kesembuhan, seperti: kontrol dan minum obat teratur, konsumsi nutrisi seimbang, istirahat dan aktifitas teratur, dan menghindari konsumsi atau tindakan yang dapat menambah parah sakitnya.
2. Dukungan sosial
1. Dukungan emosional, agar pasien merasa nyaman, dihargai, dicintai dan diperhatikan.
2. Dukungan informasi, untuk meningkatkan pengetahuan dan penerimaan pasien terhadap sakitnya.
3. Dukungan material, untuk bantuan/kemudahan akses dalam pelayanan kesehatan pasien.

E. ASUHAN KEPERAWATAN RESPONS BIOLOGIS (ASPEK FISIK)
1. Pemberian ARV/anti retroviral dan obat anti infeksi sekunder
Penggunaan obat ARV kombinasi:
a. Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah:
1) Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil kemungkinan terjadinya resistensi.
2) Meningkatkan efektivitas dan lebih menekan aktifitas virus. Bila timbul efek samping, bisa diganti dengan obat lainnya, dan bila virus mulai resisten terhadap obat yang sedang digunakan bisa memakai kombinasi lain.
b. Efektivitas obat ARV kombinasi:
1) ARV kombinasi lebih efektif karena mempunyai khasiat ARV yang lebih tinggi dan menurunkan viral load lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan satu jenis obat saja.
2) Kemungkinan terjadinya resistensi virus kecil, akan tetapi bila pasien lupa minum obat dapat menimbulkan terjadinya resistensi.
3) Kombinasi menyebabkan dosis masing-masing obat lebih kecil, sehingga kemungkinan efek samping lebih kecil.


c. Saat memulai menggunakan ARV
Menurut WHO (2002), penggunaan ARV bisa dimulai pada orang dewasa berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1) Bila pemeriksaan CD4 bisa dilakukan pada:
a) Pasien stadium IV (menurut WHO), tanpa memperhatikan hasil tes CD4.
b) Pasien stadium I, II, III (menurut WHO) dengan hasil perhitungan limfosit total <200/µl (Yayasan Kerti Praja, 1992).
2) Bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan:
a) Pasien stadium IV (menurutWHO), tanpa memperhatikan hasil hitung limfosit total.
b) Pasien stadium I, II, III (menurut WHO) dengan hasil perhitungan limfosit total <1000-1200/µl.
3) Limfosit total <1000-1200/µl dapat diganti dengan CD4 dan dijumpai tanda-tanda HIV. Hal ini kurang penting pada pasien tanpa gejala (stadium I menurut WHO) dan hendaknya jangan dilakukan pengobatan terlebih dahulu karena belum ada petunjuk tentang beratnya penyakit.
4) Pengobatan juga dianjurkan untuk pasien stadium III lanjut, termasuk kambuh, luka pada mulut yang sukar sembuh, dan infeksi pada mulut yang berulang dengan tidak memerhatikan hasil pemeriksaan CD4 dan limfosit total.
d. Cara memilih obat
1) Pertimbangan dalam memilih obat adalah hasil pemeriksaan CD4, viral load, dan kemampuan pasien mengingat penggunaan obatnya. Pertimbangan yang baik ialah memilih obat berdasarkan jadwal kerja dan pola hidup.
2) Kebanyakan orang lebih banyak mengingat obat yang diminum sewaktu makan.

e. Efek samping obat
1) Efek samping jangka pendek adalah : mual, muntah diare, sakit kepala, lesu, dan susah tidur. Efek samping ini berbeda beda pada setiap orang, jarang semua pasien mengalami efek samping tersebut. Efek samping jangka pendek terjadi langsung setelah minum obat dan berkurang setelah beberapa minggu. Selama beberapa minggu penggunaan ARV, diperbolehkan minum obat lain untuk mengurangi efek samping.
2) Efek samping jangka panjang ARV belum banyak diketahui.
3) Efek samping pada wanita: efek samping pada wanita lebih berat dari pada laki-laki salah satu cara mengatasinya adalah dengan menggunakan dosis yang lebih kecil. Beberapa wanita melaporkan menstruasi lebih berat dan sakit atau lebih panjang dari biasanya, namun ada juga wanita yang berhenti sama sekali menstruasinya. Mekanisme ini belum diketahui secara jelas.
f. Kepatuhan minum obat
1) Kepatuhan terhadap pemakaian obat membantu mencegah terjadinya resistensi dan dapat menekan virus secara terus menerus.
2) Diet penting untuk mengingat minum obat :
a) Minumlah obat pada waktu yang sama setiap hari.
b) Harus selalu tersedia obat di tempat manapun biasanya pasien berada, misalnya di kantor, di rumah, dan lain-lain.
c) Bawa obat kemanapun pergi (dikantong, tas, dll asal tidak memerlukan lemari es).
d) Pergunakan peralatan (jam, hp yang berisi alarm yang bisa diatur agar berbunyi setiap waktunya minum obat)

2. Pemberian suplemen (TKTP, multivitamin, dan anti oksidan)
Pasien dengan HIV/AIDS (ODHA) sangat membutuhkan vitamin dan mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari yang biasanya yang diperoleh dalam makanan sehari-hari. Sebagian besar ODHA akan mengalami defiesiensi vitamin sehingga memerlukan makanan tambahan.
Dalam beberapa hal, HIV sendiri akan mengalami perkembangan lebih cepat. Pada ODHA yang mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Kondisi tersebut sangat berbahaya pada ODHA yang mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Vitamin dan mineral juga berfungsi untuk meningkatkan kemampuan tubuh dalam melawan berkembanganya HIV dalam tubuh.
HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan penyerapan nutrisi. Hal ini berhubungan dengan menurunnya atau habisnya cadangan vitamin dan mineral dalam tubuh. Defisiensi vitamin dan mineral pada ODHA dimulai sejak stadium dini. Walaupun jumlah makan ODHA sudah cukup dan berimbang seperti orang sehat, tetapi akan tetap terjadi defisiensi vitamin dan mineral.
Berdasarkan beberapa hal tersebut, selain mengkonsumsi dalam jumlah yang tinggi, dalam ODHA juga harus mengonsumsi suplemen atau nutrisi tambahan. Pemberian nutrisi tambahan bertujuan agar beban ODHA tidak bertambah akibat defisiensi vitamin dan mineral.

3. Istirahat dan relaksasi
a. Manfaat olahraga terhadap imunitas tubuh
Hampir semua organ merespon stres olahraga. Pada keadaan akut, olahraga akan berefek buruk pada kesehatan, sebaliknya, olahraga yang dilakukan secara teratur menimbulkan adaptasi pada organ tubuh yang berefek menyehatkan.
Olahraga yang dilakukan secara teratur menghasilkan perubahan pada jaringan, sel, dan protein pada sistem imun.
b. Pengaruh latihan fisik terhadap tubuh.
1) Perubahan sistem sirkulasi
Olahraga meningkatkan cardiac output dari 5L /menit menjadi 20L/menit pada dewasa sehat. Hal ini menyebabkan peningkatan darah ke otot skelet dan jantung.
Latihan yang teratur meningkatkan adaptasi pada sistem sirkulasi, meningkatkan volume dan masa ventrikel kiri. Hal ini berdampak pada peningkatan sekuncup dan cardiac output sehingga tercapai kapasitas kerja yang maksimal.
2) Sistem pulmonal
Olahraga meningkatkan frekuensi nafas, meningkatkan pertukaran gas serta pengangkutan oksigen, dan penggunaan oksigen oleh otot.
3) Metabolisme
Untuk melakukan olahraga, otot memerlukan energi. Pada olahraga intensitas rendah sampai sedang terjadi pemecahan trigliserida dan jaringan adipose menjadi glikogen dan FFA (Free Fatty Acid). Pada olahraga intensitas tinggi kebutuhan energi meningkat, otot semakin tergantung glikogen sehingga metabolism berubah aerob menjadi anaerob. Metabolisme aerob menjadi anaerob.
Metabolisme anaerob menghasilkan 2 ATP dan asam laktat yang menurunkan kerja otot. Pada saat olahraga tubuh meningkatkan glukosa ambilan glukosa darah, untuk mencegah hipoglikemia. Tubuh meningkatkan glikonelisis dan glukoneogenesis hati untuk mempertahankan gula darah normal.
Olahraga berlebihan menyebabkan hipernatremia karena banyak cairan isotonis yang keluar bersama keringat, serta hiperkalemia karena kalium banyak dilepas dari otot. Selain itu juga bisa terjadi dehidrasi dan hiporosmolaritas

4. Perawatan infeksi sekunder (ISPA, herpes dan nyeri sendi)
Kepada pasien dan orang yang merawatnya diminta untuk memantau tanda–tanda serta gelaja infeksi. Tanda–tanda ini mencakup gejala demam/panas, menggigil, keringat malam, batuk dengan atau tanpa produksi sputum, napas yang pendek, kesulitan bernapas, rasa sakit pada mulut atau kesulitan menelan, bercak – bercak putih dalam rongga mulut, penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya, kelenjar limfe yang membengkak, mual, muntah, diare persisten, sering berkemih, sulit untuk mulai dan nyeri saat berkemih, sakit kepala, perubahan visual dan penurunan daya ingat, kemerahan, pembengkakkan atau pengeluaran sekret dari luka pada kulit, dan lesi vaskuler pada wajah, bibir atau daerah perianal. Perawat juga harus memantau hasil lab yang menunjukkan hasil infeksi, seperti hitungan leokosit den hitung jenis. Dokter dapat memutuskan untuk melakukan pemeriksaan kultur spesimen dari sekitar luka, lesi kulit, urine, feses, sputum, mulut serta darah untuk mengidentifikasi mikroorganisme patogen dan terapi anti mikroba yang paling tepat.
Penyuluhan pasien mencakup strategi untuk menghindari infeksi. Pentinganya hygienis perorangan harus ditekan. Permukaan dapur dan kamar mandi jari dibersihkan secara teratur dengan larutan disinfektan untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur. Pasien yang di rumahnya terdapat hewan peliharaan memerlukan bantuan orang lain unruk membersihkan tempat–tempat yang tercemar kotoran hewan tersebut, seperti sangkar burung dan tempat sampah. Jika pekerjaan ini tidak mungkin dilakukan orang lain, pasien harus mengenakan sarung tangan untuk membersihkannya. Pasien juga harus dinasehati untuk menghindari kontak dengan orang lain yang sakit atau yang baru saja di vaksinasi. Penderita AIDS dan pasangan seksualnya diharuskan sekali untuk menghindari kontak dengan cairan tubuh pasangannya selama melakukan aktivitas seksual dan menggunakan kondom pada segala bentuk hubungan seks. Pemakaian obat IV harus dilarang karena terdapatnya risiko infeksi bagi pasien dan penularan infeksi HIV kepada orang lain. Pasien yang sudah terinfeksi oleh virus HIV juga diharuskan untuk menghindari kontak dengan cairan tubuh (lewat aktivitas seksual atau pemakaian obat IV) agar tidak terjadi infeksi dengan strain HIV yang lain. Pentingnya menghindari rokok dan mempertahankan keseimbangan antara diet, istirahat dan latihan juga harus ditekankan. Semua professional kesehatan harus selalu ingat tentang pentingnya tehknik aseptik yang ketat ketika mengerjakan prosedur yang invasif seperti pemasangan infus serta kateter urine, dan selalu memperhatikan tindakan penjagaan universal dalam semua perawatan pasien.

F. ASUHAN KEPERAWATAN RESPONS ADAPTIF PSIKOLOGIS (STRATEGI KOPING)
Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk menghadapi perubahan yang diterima. Apabila mekanisme koping berhasil, maka orang tersebut akan dapat beradaptasi terhadap yang perubahan yang terjadi. Mekanisme koping dapat dipelajari, sejak awal timbulnya stressor sehingga individu tesebut dapat menyadari dampak dari stressor tersebut.
Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat. Belajar dimaksud adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh faktor ekternal dan internal. Belajar implisi umumnya bersfat reflektif dan tidak memerlukan kesadaran (vokal). Keadaan ini ditemukan pada perilaku dan kebiasaan. Pada habituasi timbul suatu hubungan dari transmisi sinaps pada neuron sensoris pada akibat penurunan jumlah neurotransmitter yang berkurang yang dilepas dari terminal presinaps. Sensitifitas sifatnya lebih kompleks dari habituasi, mempunyai potensial jika panjang (beberapa menit sampai beberapa minggu).
Koping yang efektif menempati tempat yang sentral terhadap ketahanan tubuh dan daya penolakan tubuh terhadap gangguan maupun seragan suatu penyakit baik bersifat fisik maupun psikis, sosial spiritual.
Lipowski membagi koping dalam dua bentuk, yaitu koping style dan koping stategi. Koping style merupakan mekanisme adaptasi individu meliputi mekanisme psikologis dan mekanime kognitif dan persepsi. Sifat dasar koping style adalah mengurangi makna suatu konsep yang dianutnya, misalnya penolakan atau pengingkaran yang bervariasi yang tidak realistis atau berat (psikosis hingga pada tingkatan yang sangat ringan saja terhadap suatu keadaan).
Koping stategi merupakan koping yang digunakan individu secara sadar dan terarah dalam mengatasi sakit atau stressor yang dihadapinya
1. Strategi koping (cara penyelesaian masalah)
Beradaptasi terhadap penyakit memerlukan berbagai strategi tergantung ketrampilan koping yang bisa digunakan dalam menghadapi situasi sulit. Menurut Mooss, 1984 yang dikutip Brunner dan Studart (2002) menguraikan 7 koping yang negatif kategori keterampilan, yakni :
a. Koping yang negatif
1) Penyangkalan (Avoidance). Penyangkalan meliputi penolakan untuk menerima atau menghargai keseriusan penyakit.
2) Menyalahkan diri sendiri (self blame). Koping ini muncul sebagai reaksi terhadap suatu keputusasaan. Pasien merasa bersalah dan semua yang terjadi akibat dari perbuatannya.
3) Pasrah (Wishfull thinking). Pasien merasa pasrah terhadap masalah yang menimpanya, tanpa adanya usaha dan motivasi untuk menghadapi.
b. Mencari informasi
Keterampilan koping dalam mencari informasi mencakup:
1) Mengumpulkan informasi yang berkaitan dapat menghilangkan kecemasan akibat salah konsepsi dan ketidakpastian .
2) Menggunakan sumber intelektual secara efektif. Pasien sering merasa terhibur oleh informasi mengenai penyakit, pengobatan, dan perjalanan penyakit yang diperkirakan terjadi.

c. Meminta dukungan emosional
Kemampuan untuk mendapat dukungan emosional dari keluarga, sahabat, dan pelayanan kesehatan sangat penting dalam membantu memelihara rasa kemampuan diri, koping ini bermakna untuk meraih bantuan dari orang lain sehingga akan memelihara harapan melalui dukungan.
d. Pembelajaran perawatan diri
Belajar merawat diri sendiri menunjukan kemampuan dan efektifitas seseorang. Ketidakberdayaan seseorang akan berkurang karena rasa bangga dalam percepatan membantu memulihkan dan memelihara harga diri.
e. Menetapkan tujuan konkret
Keseluruhan tugas beradaptasi terhadap penyakit serius tampak membingungkan pada awalnya. Namun tugas tersebut dapat dikuasai dengan cara membagi-bagi tugas tersebut menjadi tujuan yang lebih kecil dan dapat ditangani akhirnya mengarah pada keberhasilan. Hal ini dapat dilaksanakan bila motivasi tetap dijaga dan perasaan tidak berdaya dikurangi.
f. Mengulangi hasil alternatif
Selalu saja ada alternatif dalam setiap situasi. Dengan memahami pilihan tersebut akan membantu pasien merasa berkurang ketidakberdayaanya. Dengan menggali pilihan tersebut bersama perawat dan keluarga akan membantu membuka realitas sebagai dasar untuk membuat keputusan selanjutnya. Koping ini membantu pasien mengurangi kecamasan dengan cara mempersiapkan hari esok dengan mengingat kembali bagaimana pasien mampu mengatasi kesulitan masa lalu dan meningkatkan percaya diri.
g. Menemukan makna dari penyakit
Penyakit merupakan satu pengalaman manusia, kebanyakan orang menganggap penyakit serius sebagai titik balik kehidupan mereka baik spiritual maupun fisiologis. Terkadang orang menemukan kepuasan dalam kepercayaan mereka bahwa pasien mungkin mempunyai makna atau berguna bagi orang lain.


2. Koping yang Positif (Teknik Koping)
Ada 3 teknik koping yang ditawarkan dalam mengatasi stress :
a. Pemberdayaan Sumber Daya Psikologis (Potensi Diri)
Sumber daya psikologi merupakan kepribadian dan kemampuan individu dalam memanfaatkannya menghadapi stress yang disebabkan situasi dan lingkungan. Karakteristik di bawah ini merupakan sumber daya psikologis yang penting.
1) Pikiran yang positif tentang dirinya (harga diri)
Jenis ini bermanfaat dalam mengatasi situasi stress, sebagaimana teori dari Colley’s looking-glass self: rasa percaya diri, dan kemampuan untuk mengatasi masalah yang dihadapi
2) Mengontrol diri sendiri
Kemampuan dan keyakinan untuk mengontrol tentang diri sendiri dan situasi (internal control) dan eksternal kontrol (bahwa kehidupannya dikendalikan oleh keberuntungan dan nasib dari luar) sehingga pasien akan mampu mengambil hikmah dari sakitnya. Kemampuan mengontrol diri akan dapat memperkuat koping pasien, perawat harus menguatkan kontrol dari pasien dengan melakukan tindakan untuk :
a) Membantu pasien mengidentifikasi masalah dan seberapa jauh dia dapat mengontrol diri.
b) Meningkatkan perilaku menyelesaikan masalah.
c) Membantu meningkatkan rasa percaya diri, bahwa pasien akan mendapatkan hasil yang lebih baik.
d) Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengambil keputusan terhadap dirinya.
e) Mengitentifikasi sumber-sumber pribadi dan lingkungan yang dapat meningkatkan control diri: kenyakinan, agama.
b. Resionalisasi (Teknik kognitif)
Upaya memahami dan menginterprestasikan secara spesifik terhadap stress dalam mencari arti dan makna stress. Dalam menghadapi situasi stress, respons individu secara rasional adalah dia akan menghadapi secara terus menerus, mengabaikan, atau memberitahukan kepada diri sendiri dan semuanya akan berakhir dengan sendirinya. Sebagai orang berpikir bahwa setiap suatu kejadian akan menjadi sesuatu tantangan dalam kehidupan kegiatan spiritual, lebih mendekatkan dari kepada sang pencipta untuk mencari hikmah dan makna dari semua yang terjadi.
c. Tehnik Perilaku
Teknik perilaku dapat dipergunakan untuk membantu individu dalam mengatasi situasi stress. Beberapa individu melakukan kegaiatan yang bermanfaat dalam menunjang kesembuhannya. Misalnya, pasien HIV akan melakukan aktivitas yang dapat membantu peningkatan data tubuhnya dengan tidur secara teratur, makan seimbang, minum obat anti retroviral dan obat untuk infeksi sekunder secara teratur, tidur dan istirahat yang cukup, dan menghindari konsumsi obat-obatan yang memperparah keadaan sakitnya.

G. ASUHAN KEPERAWATAN RESPONS SOSIAL (KELUARGA DAN PEER GROUP)
Dukungan sosial sangat diperlukan terutama pada PHIV yang kondisinya sudah sangat parah. Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial meliputi pasangan (suami/istri), orang tua, sanak keluarga, teman, tim kesehatan, atasan, dan konselor.
1. Konsep Dukungan Sosial
Beberapa pendapat mengatakan bahwa dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting.
2. Pengertian Dukungan Sosial
Sebagai satu diantara fungsi pertalian/ikatan sosial segi fungsionalnya mencakup dukungan emosional, mendorong adanya ungkapan perasaan, memberi nasehat atau informasi, pemberian bantuan material.
Sebagai fakta sosial yang sebenarnya sebagai/kognisi individual atau dukungan yang dirasakan melawan dukungan yang diterima. Dukungan sosial terdiri atas informasi atau nasehat verbal atau non verbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima.
3. Jenis Dukungan Sosial
Ada 4 jenis atau dimensi dukungan sosial menjadi:
a. Dukungan emosional
Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.
b. Dukungan penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan positif untuk orang lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain, misalanya orang itu kurang mampu atau lebih buruk keadannya (menambah harga diri).
c. Dukungan instrumental
Mencakup bantuan langsung misalnya orang memberi pinjaman uang kepada orang yang membutuhkan atau menolong dengan memberi pekerjaan pada orang yang tidak punya pekerjaan.
d. Dukungan informatif
Mencakup pemberian nasehat, saran, pengetahuan, dan informasi serta petunjuk.

4. Hubungan Dukungan Sosial dengan Kesehatan
Ada pengaruh dukungan sosial terhadap kesehatan, tetapi bagaimana hal itu terjadi? Penelitian terutama memusatkan pengaruh dukungan sosial pada stress sebagai variabel penengah dalam perilaku kesehatan dan hasil kesehatan. Dua teori pokok diusulkan, hipotesis penyangka (buffer hypotesis) dan hipotesis efek langsung (direct effect hypotesis).
Menurut hipotesis penyangka dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dan melindungi orang itu terhadap efek negatif dari stress berat. Fungsi yang bersifat melindungi ini hanya atau terutama efektif jika orang itu mengalami stress yang kuat. Dalam stress yang rendah terjadi sedikit atau tidak ada penyangga bekerja. Orang–orang dengan dukungan sosial tinggi mungkin akan kurang menilai situasi penuh stres (mereka akan tahu bahwa mungkin ada seseorang yang dapat membantu mereka). Orang-orang dengan dukungan sosial tinggi akan merubah respon mereka terhadap sumber stres misalnya pergi keseorang teman untuk membicarakan masalahnya.
Hipotesis efek langsung berpendapat bahwa dukungan sosial itu bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan, tidak peduli banyaknmya stress yang dialami orang-orang menurut hipotesis ini efek dukungan sosial yang positif sebanding di bawah intensitas stress tinggi dan rendah. Contohnya adalah orang-orang dengan dukungan sosial tinggi dapat memiliki penghargaan diri yang lebih tinggi yang membuat mereka tidak begitu mudah diserang stres.

5. Dukungan Sosial (Social Support)
Hampir setiap orang tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri, tetapi mereka memerlukan bantuan orang lain. Berdasarkan hasil penelitian bahwa dukungan sosial memerlukan mediator yang penting dalam menyelesaikan masalah seseorang. Hal ini karena individu merupakan bagian dari keluarga, teman sekolah atau kerja, kegiatan agama ataupun bagian dcari kelompok lainnya.
Perlin dan Aneshense (1986: 418) mendefinisikan “sosial resources one is able to call upon in dealing with… problematic conditions of life. “Sedangkan Selyc (1983) menekankan pada konsep “flight or flight“ reraction: “when circumstances offered opportuniny for success (oe there was no choice), human would fight: in the face of overhelming odds, humans shought flight”.
a. Demensi dukungan sosial
Demensi dukungan sosial meliputi 3 hal:
1) Emotional support, meliputi: perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan.
2) Cognitive support, meliputi: informasi, pengrtahuan dan nasihat.
3) Materials support, meliputi: bantuan/pelayanan berupa suatu batang dalam mengatasi suatu masalah.
b. Mekanisme bagaimana dukungan sosial berpengareuh terhadap kesehatan dikenal ada 3 mekanisme social support yang secara langsung atau tidak berpengaruh terhadap kesehatan seseorang:
1) Mediator perilaku. Mengajak individu untuk mengubah perilaku yang jelek dan meniru perilaku yang baik (misalnya, berhenti merokok).
2) Psikologis. Meningkatkan harga diri dan menjabat tangani suatu interaksi yang bermakna.
3) Fisiologis. Membantu relaksasi terhadap sesuatu yang mengancam dalam upaya meningkatkan sistem imun seseorang.
c. Intervensi yang diberikan pada sistem pendukung adalah:
1) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
2) Menegaskan tentang pentingnya pasien kepada orang lain.
3) Mendorong agar pasien mengungkapkan perasaan negatif.
4) Memberi umpan balik terhadap perilakunya.
5) Memberi rasa percaya dan kenyakinan.
6) Memberi informasi yang diperlukan.
7) Berperan sebagai advokat.
8) Member dukungan: moral, material (khususnya keluarga), dan spiritual.
9) Menghargai penilaian individu yang cocok terhadap kejadian.
Asuhan keperawatan yang diberikan pada keluarga pada dasarnya adalah serangkaian kegiatan yang diberikan melalui praktik keperawatan kepada keluarga, untuk membantu menyelesaikan masalah kesehatan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.
d. Tujuan dari asuhan keperawatan keluarga dengan AIDS adalah ditingkatkannya kemampuan keluarga dalam :
1) Memahami masalah HIV/AIDS pada keluarga.
2) Memutuskan tindakan yang tepat untuk mengatasi HIV/AIDS.
3) Melakukan tindakan keperawatan pada anggota keluarga yang menderita HIV/AIDS.
4) Memelihara lingkungan (fisik, psikis, dan sosial) sehingga dapat menunjang peningkatan kesehatan keluarga.
5) Memfaatkan sumber daya yang ada dalam masyarakat misalnya: puskesmas, pustu, kartu sehat untuk memperoleh pelayanan keluarga
6) Menurunkan stigma sosial.
e. Menurut Allender dan Spradly (2001) hal–hal yang perlu dikaji oleh keluarga dalam melakukan pemenuhan tugas perawatan keluarga adalah:
1) Untuk mengetahui kemampuan keluarga mengenal masalah HIV/AIDS, yang perlu dikaji adalah sejauh mana keluarga mengetahui mengenai fakta-fakta dari masalah HIV/AIDS meliputi: pengertian, tanda dan gejala, faktor penyebab yang mempengaruhinya serta persepsi keluarga terhadap masalah HIV/AIDS.
2) Untuk mengetahui kemampuan keluarga mengambil keputusan mengenai tindakan keperawatan kesehatan tang tepat, hal yang perlu dikaji adalah: sejauh mana kemampuan keluarga mengerti mrngenai sifat dan luasnya masalah HIV/AIDS:
a) Apakah masalah HIV/AIDS dirasakan oleh seluruh anggota keluarga?
b) Apakah keluarga merasa menyerah terhadap masalah yang dialami?
c) Apakah keluarga merasa takut akan akibat dari penyakit HIV/AIDS?
d) Apakah keluarga mempunyai sifat negatif terhadap masalah HIV/AIDS?
e) Apakah keluarga dapat menjangkau fasilitas kesehatan yang ada?
f) Apakah keluarga kurang percaya terhadap tenaga kesehatan?
g) Apakah keluarga mendapat informasi yang salah terhadap tindakan dalam mengatasi HIV/AIDS?
3) Untuk mengetahui kemampuan keluarga pasien HIV/AIDS dalam memberikan perawatan yang perlu dikaji adalah:
a) Sejauh mana keluarga mengetahui keadaan penyakit, sifat, penyebaran, komplikasi, dan cara perawatan HIV/AIDS?
b) Sejauh mana keluarga mengetahui tentang sifat dan perkembangan perawatan yang dibutuhkan?
c) Sejauh mana keluarga mengetahui keberadaan fasilitas yang diperlukan untuk perawatan?
d) Sejauh mana keluarga mengetahui sumber-sumber yang ada dalam keluarga (anggota keluarga yang bertanggung jawab, sumber kaluarga/finansial, fasilitas fisik dan psikososial) ?
e) Bagaimana sikap keluarga terhadap yang sakit?
4) Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga memelihara lingkungan rumah yang sehat, hal ini perlu dikaji adalah:
a) Sejauh mana keluarga mengetahui sumber-sumber keluarga yang dimiliki?
b) Sejauh mana keluarga melihat keuntungan/manfaat pemeliharaan lingkungan?
c) Sejauh mana kaluarga mengetahui pentingnya higiens sanitasi?
d) Sejauh mana sikap/pandangan keluarga terhadap higiens sanitasi?
e) Sejauh mana keluarga mengetahui upaya pencegahan penyakit?
f) Sejauh mana kekompakan antara anggota keluarga?
5) Mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga menggunakan fasilitas/pelayanan kesehatan dimasyarakat, hal ini perlu dikaji adalah:
a) Sejauh mana keluarga mengetahui keberadaan fasilitas kesehatan?
b) Sejauh mana keluarga memehami keuntungan – keuntungan yang dapat diperoleh dari fasilitas kesehatan?
c) Sejauh mana tingkat kepercayaan keluarga terhadap petugas dan fasilitas keluarga?
d) Apakah keluarga menpunyai pengalaman yang kurang baik terhadap petugas keluarga?
e) Apakah fasilitas kesehatan yang ada terjangkau oleh keluarga?

Sabtu, 29 Oktober 2011

TAHAPAN PERAWATAN DAN PEMULIHAN KETERGANTUNGAN NAPZA

TAHAPAN PERAWATAN DAN PEMULIHAN KETERGANTUNGAN NAPZA

A. NAPZA
NAPZA merupakan singkatan dari Narkotik, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya. Akronim ini digunakan untuk memberikan istilah terhadap obat-obatan terlarang yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan Kejiwaan. Pengertian lain dari NAPZA adalah zat kimia yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh baik diminum, dihirup, dihisap, disedot maupun disuntikan dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan dan perilaku seseorang.
Pembagian NAPZA yaitu sebagai berikut:
1. Narkotik
Narkotik adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan menimbulkan ketergantungan.
Berdasarkan potensi ketergantungannya, narkotika dibagi menjadi 3 golongan:
a. Golongan I berpotensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan dan dilarang digunakan untuk pengobatan. Golongan ini banyak disalahgunakan. Contoh : Heroin, kokain, dan ganja. Ketiganya dilarang keras digunakan atau diedarkan diluar ketentuan hukum.
b. Golongan II berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan dan digunakan secara terbatas pada pengobatan. Contoh petidin, candu.
c. Golongan III berpotensi ringan menimbulkan ketergantungan dan banyak digunakan pada pengobatan. Contoh: kodein (Anank. 2011).
2. Alkohol
Alkohol adalah suatu obat depresan SSP yang biasa digunakan dalam masyarakat kita karena berbagai alasan (mis. untuk meningkatkan cita rasa makanan, mendorong relaksasi, dan kesenangan saat berkumpul dengan teman-teman, merayakan sesuatu, dan sebagai salah satu bagian dari upacara keagamaan). Secara teraupetik, alkohol banyak terkandung dalam obat yang dijual bebas/diresepkan. Alkohol tidak akan berbahaya, bahkan alkohol akan menyenangkan, dan kadang menguntungkan jika digunakan secara bertanggung jawab dan tidak berlebihan. Tetapi, seperti halnya obat-obatan lain yang dapat mengganggu pikiran, alkohol berpotensi untuk disalahgunakan (Doenges, D, Marilynn. 2007).
Golongan alkohol yaitu sebagai berikut:
a. Golongan I (1% - 5%) : Bir, Greensand.
b. Golongan II (5% - 20%) : Anggur, Martini.
c. Golongan III (20% - 50%) : Wisky, Brandy.
3. Psikotropik
Psikotropika adalah merupakan suatu zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Berdasarkan potensi ketergantungannya, psikotropika dibagi menjadi 4 golongan:
a. Golongan I sangat tinggi, menimbulkan ketegantungan dan selain untuk ilmu pengetahuan dinyatakan sebagai barang terlarang, sehingga dilarang keras digunakan atau diedarkan di luar ketentuan hukum. Contoh: ekstasi (MDMA) yang banyak disalahgunakan dan LSD.
b. Golongan II berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan dan secara selektif dapat digunakan pada pengobatan. Contoh amfetamin dan metamefamin (shabu) yang banyak disalahgunakan.
c. Golongan III dan IV berpotensi sedang dan ringan. Menimbulkan ketergantungan, dan dapat digunakan pada pengobatan, tetapi harus dengan resep dokter. Contoh: obat penenang (sedativa) dan obat tidur (hipnotika). Yang sering disalahgunakan: Mogadon (MG), Rohypnol (Rohyp), Pil BK/Koplo, Lexotan (Lexo) (Anank. 2011).

4. Zat Adiktif Lainnya
Zat adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakannya secara terus-menerus yang jika dihentikan dapat memberi efek lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa.
Contoh zat adiktif yaitu sebagai berikut:
a. Volatile Solvent : Aceton, bansin, Aibon (Lem).
b. Nicotine : Rokok .
c. Coffein : Kopi
Secara umum Efek yang ditimbulkan oleh NAPZA terbagi atas 3 golongan, hal ini sangat terlihat dari dampak setelah obat yang digunakan bereaksi. Tidak seluruh obat yang digunakan akan berakibat sama, anatar satu obat/bahan dengan obat yang lain akan berbeda. 3 golongan dari efek yang ditimbulkan NAPZA yaitu depresan, stimulan, dan halusinogen.
1. Depresan
Depresan adalah obat/zat yang berkhasiat menekan atau menurunkan fungsi susunan sarap pusat sehingga aktivitas fungsional tubuh berkurang. Definisi lain menyatakan depresan adalah jenis obat yang berfungsi untuk mengurangi aktivitas fungsional tubuh. Obat jenis ini dapat membuat si pemakai merasa tenang dan bahkan membuatnya tertidur atau tak sadarkan diri.
Contoh dari golongan depresan yaitu golongan opioids (opium, morfin, heroin, metadone), alkohol, ganja, sedatif hipnotik (valium, mogadon, rohipnol, serepax), solvent/inhalant (lem, bensin, cairan korek api, thinner, vernis, dll).
2. Stimulan
Stimulan adalah jenis zat yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan gairah kerja dan kesadaran. Definisi lain menyatakan stimulan adalah obat/zat yang berkhasiat meningkatkan fungsi susunan sarap pusat (merangsang fungsi tubuh) sehingga penggunanya merasa tetap segar dan bersemangat
Contoh dari golongan halusinogen yaitu kokain, amphetamine, shabu-sabu, ecstasy, nicotin, kafein, tablet pelangsing (duramine, sanorex).
3. Halusinogen
Halusinogen adalah zat yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan pikiran dan sering kali dengan menciptakan daya pandang yang berbeda meskipun seluruh perasaannya akan terganggu.
Contoh dari golongan stimulan yaitu LSD (Lysergic Acid Diethylamide), Magic Mushrooms (psilocybin), Mescaline (Peyote cactus), PCP (Phencyclidine), Ecstasy (MDMA), Ketamine, Ganja.

B. PENCEGAHAN NAPZA
Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
a. Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZA.
b. Deteksi dini perubahan perilaku.
c. Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to drugs”) atau “Katakan tidak pada narkoba”

C. PENGOBATAN NAPZA
1. Pengobatan Secara Medis Melalui Detoksifikasi
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:
a. Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.
b. Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.
2. Aplikasi Proses Keperawatan secara umum
Akan sulit untuk mengidentifikasi individu yang mengalami masalah pernggunaan NAPZA. Penggunaannya biasanya mencakup penggunaan mekanisme pertahanan, terutama, penyangkalan. Klien dapat secara langsung menyangkal mengalami suatu masalah, atau meremehkan besarnya masalah atau penggunaan zat yang aktual. Selain itu, perawat yang dapat menemukan klien yang mengalami masalah zat di berbagai lingkungan yang tidak terkait dengan kesehatan jiwa. Klien dapat datang ke klinik untuk terapi masalah medis yang terkait dengan penggunaan alkohol, atau klien dapat mengalami gejala outus zat ketika berada di rumah sakit untuk pembedahan atau kondisi yang tidak terkait. Perawat harus waspada terhadap kemungkinan penggunaan zat pada situasi ini dan bersiap-siap untuk mengenali keberadaannya dan melakukan rujukan yang tepat.
Beberapa instrumen skrining yang tersedia dapat digunakan di setiap tempat. Kuesioner CAGE bersifat sederhana dan mudah untuk diingat dan digunakan. Jawaban “ya” untuk satu atau lebih dari empat pertanyaan yang mengindikasikan suatu kebutuhan untuk pengkajian masalah penggunaan zat lebih lanjut. Pertanyaan dapat dimodifikasi untuk setiap zat.
Tes identifikasi gangguan penggunaan alkohol (Alcohol Use Disorders Identification Test [AUDIT]) merupakan alat skrining yang berguna untuk mendeteksi pola minum alkohol yang membahayakan yang mungkin menjadi prekursor untuk gangguan penggunaan zat yang kompleks. Alat ini meningkatkan pengenalan masalah minuman alkohol pada tahap awal, ketika resolusi tanpa terapi formal lebih mungkin dilakukan. Deteksi dini dan terapi dikaitkan dengan hasil yang lebih positif.
Detoksifikasi merupakan prioritas awal. Rencana asuhan keperawatan untuk klien ketergantungan NAPZA akan ditampilkan secara rinci pada bagian sub bab selanjutnya. Prioritas klien secara individual akan berdasarkan kebutuhan fisik mereka dan dapat mencakup keamanan, nutrisi, cairan, eliminasi, dan tidur. Bagian selanjutnya akan berfokus pada perawatan klien yang menjalani terapi penyalahgunaan zat setelah detoksifikasi.
Di bawah ini terdapat beberapa alat skrining yang sudah dijelaskan sebelumnya akan dijelaskan lebih rinci. Adapun alat skrining tersebut yaitu:
a. Kuesioner CAGE
Apabila klien menjawab “ya” untuk salah satu pertanyaan berikut, hal ini memerlukan pengkajian lebih lanjut:
1) Pernahkah Anda merasa bahwa Anda harus mengurangi (Cut down) alkohol?
2) Pernahkah orang-orang Anda (Annoyed) dengan mengkritik perilaku minum alkohol yang anda lakukan?
3) Pernahkah Anda merasa tidak enak atau bersalah (Guilty) dengan minum alkohol?
4) Pernahkan Anda minum alkohol lebih awal pada pagi hari untuk mengencangkan saraf Anda atau menghindari sakit kepala berat karena minum alkohol terlalu banyak (Eye-opener)?
b. Alcohol Use Disorders Identification Test (AUDIT)
Kuesioner berikut ini akan memberikan Anda indikasi tingkat resiko yang terkait dengan pola minum alkohol yang Anda alami sekarang. Untuk mengkaji situasi Anda secara akurat, Anda perlu jujur dalam memberikan jawaban. Kuesioner ini dikembangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan digunakan di berbagai negara untuk membantu masyarakat agar lebih memahami tingkat resiko mereka saat ini yang berhubungan dengan konsumsinalkohol.
1) Berapa kali Anda minum minuman yang mengandung alkohol? (0) tidak pernah, (1) setiap bulan atau kurang dari sebulan, (2) 2 sampai 4 kali sebulan, (3) 2 sampai 3 kali seminggu, (4) 4 kali atau lebih dalam seminggu.
2) Berapa gelas minuman standart yang Anda minum pada hari tertentu? (0) 1 atau 2, (1) 3 atau 4 , (2) 5 atau 6, (3) 7 atau 9, (4) 10 atau lebih.
3) Berapa kali Anda minum enam gelas alkohol atau lebih pada suatu acara? 0) tidak pernah, (1) kurang dari sebulan, (2) setiap bulan, (3) setiap minggu, (4) setiap hari atau hampir setiap hari.
4) Berapa kali selama setahun terakhir Anda mendapatkan bahwa Anda tidak mampu menghentikan kebiasaan minum alkohol setelah Anda memulainya? 0) tidak pernah, (1) kurang dari sebulan, (2) setiap bulan, (3) setiap minggu, (4) setiap hari atau hampit setiap hari.
5) Berapa kali selama setahun terakir Anda gagal melakukan hal-hal secara normal diharapkan dari Anda karena minum alkohol? 0) tidak pernah, (1) kurang dari sebulan, (2) setiap bulan, (3) setiap minggu, (4) setiap hari atau hampit setiap hari.
6) Berapa kali selama setahun terakhir Anda perlu minum alkohol pada pagi hari untuk menyegarkan diri Anda setelah mabuk? 0) tidak pernah, (1) kurang dari sebulan, (2) setiap bulan, (3) setiap minggu, (4) setiap hari atau hampit setiap hari.
7) Berapa kali selama setahun Anda mempunyai perasaan bersalah atau penyesalan setelah minum alkohol? 0) tidak pernah, (1) kurang dari sebulan, (2) setiap bulan, (3) setiap minggu, (4) setiap hari atau hampit setiap hari.
8) Berapa kali selama setahun terakhir Anda tidak dapat mengingat apa yang terjadi semalam sebelum Anda minum alkohol? 0) tidak pernah, (1) kurang dari sebulan, (2) setiap bulan, (3) setiap minggu, (4) setiap hari atau hampit setiap hari.
9) Apakah Anda atau orang lain pernah cedera akibat minum alkohol? 0) tidak pernah, (1) kurang dari sebulan, (2) setiap bulan, (3) setiap minggu, (4) setiap hari atau hampit setiap hari.
10) Apakah saudara, dokter atau tenaga kesehatan lain memperhatikan kebiasaan Anda minum alkohol atau menyarankan Anda untuk mengurangi minum alkohol? 0) tidak, (1) ya, tetapi tidak dalam setahun terakhir, (2) ya, selama setahun terakhir.
Proses keperawatan pada pasien dengan ketergantungan NAPZA secara umum meliputi:
a. Pengkajian
1) Riwayat
Klien dapat melaporkan kehidupan keluarga yang kacau dengan salah satu orang tua atau anggota keluarga lain mengalami masalah penyalahgunaan zat meskipun hal ini tidak selalu menjadi suatu masalah. Klien biasanya menggambarkan beberapa macam krisis yang mencetuskan terapi, seperti masalah fisik atau perkembangan gejala putus alkohol walaupun diobati untuk kondisi yang lain. Biasanya orang lain dilibatkan dalam keputusan klien untuk mencari terapi, seperti pengusaha yang terancam kehilangan usahanya, atau pasangan atau rekan yang terancam kehilangan hubungan. Klien jarang memutuskan utnuk mencari terapi secara mandiri, tanpa pengaruh dari luar.
2) Penampilan Umum dan Perilaku Motorik
Penampilan dan bicara klien mungkin normal, atau klien mungkin tampak cemas, letih, dan berantakan jika ia baru saja menyelesaikan proses detoksifikasi yang sulit. Klien dapat terlihat sakit secara fisik, bergantung pada status kesehatannya secara keseluruhan dan setiap masalah kesehatan yang terjadi akibat penggunaan zat. Kebanyakan klien sedikit khawatir dengan terapi, dapat merasa benci dengan terapi, atau merasa ditekan oleh orang lain untuk menjalani terapi. Hal ini mungkin pertama kali setelah waktu yang lama klien harus menghadapi berbagai kesulitan tanpa bantuan zat psikoaktif.
3) Mood dan Afek
Rentang mood dan afek yang luas mungkin terjadi. Beberapa klien terlihat sedih dan menangis, dengan mengungkapkan rasa bersalah dan keadaan mereka. Klien lain dapat menjadi marah dan kasar atau tenang dan murung, tidak mau berbicara kepada perawat. Iritabilitas biasa terjadi karena klien baru saja terbebas dari zat. Klien dapat merasa senang dan terlihat gembira, tampak tidak terpengaruh oleh situasi, terutama apabila ia masih menyangkal penggunaan zat.
4) Proses dan Isi Pikir
Klien mungkin meremehkan penggunaan zat, menyalahkan orang lain atas masalah mereka. Klien mungkin berpikir bahwa mereka tidak dapat bertahan tanpa zat, atau mungkin mengungkapkan tidak mau melakukannya. Mereka mungkin memfokuskan perhatian mereka pada keuangan, isu legal, atau masalah pekerjaan sebagai sumber utama kesulitan mereka, bukan penggunaan zat. Mereka mungkin percaya bahwa mereka dapat berhenti atas kemauan mereka sendiri apabila mereka menginginkannya, dan terus menyangkal da meremehkan besarnya masalah.
5) Sensorium dan Proses Intelektual
Klien biasanya terorientasi dan sadar, kecuali jika mengalami efek putus zat yang lama. Kemampuan intelektual utuh kecuali jika klien mengalami defisit neurologis akibat penggunaan alkohol dalam jangka panjang atau penggunaan inhalan.
6) Penilaian dan Daya Litik
Klien mungkin malkukan penilaian yang buruk, terutama ketika berada di bawah pengaruh zat. Penilaian klien masih dapat dipengaruhi: klien dapat berperilaku impulsif, seperti menghentikan terapi untuk mendapatkan zat yang dipilihnya. Daya tilik biasanya terbatas terkait dengan penggunaan zat. Klien mungkin mengalami kesulitan mengakui perilakunya ketika menggunakan zat, atau tidak dapat melihat bahwa kehilangan pekerjaan atau hubungan terkait dengan penggunaan zat. Klien dapat tetap yakin bahwa ia dapat mengendalikan penggunaan zat.
7) Konsep Diri
Klien biasanya mempunyai harga diri rendah , yang daoat diungkapkan secara langsung atau dapat ditutup dengan perilaku grandiositas. Klien dapat merasa mampu untuk menghadapi kehidsupan dan stres tanpa zat dan sering merasa tidak nyaman di sekitar orang lain ketika tidak menggunakan zat. Klien sering kesulitan dalam mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaan yang sebenarnya, di masa lalu lebih suka menghilangkan perasaan dan menghindari setiap derita atau kesulitan pribadi dengan bantuan zat.
8) Peran dan Hubungan
Klien biasanya mengalami banyak kesulitan dengan peran sosial, keluarga dan peran pekerjaan. Ketidakhadiran dan [performa kerja yang buruk biasa terjadi. Anggota keluarga sering kali memberi tahu klien bahwa penggunaan zat adalah suatu masalah, da hal tersebut dapat menjadi pokok perdebatan keluarga. Hubungan dalam keluarga sering mengalami ketegangan. Klien dapat marah kepada anggota keluarga yang berperan membawanya ke tempat terapi atau yang mengamcam akan kehilangan hubungan yang signifikan
9) Pertimbangan fisiologis
Banyak klien mempunyai riwayat gizi buruk (lebih baik menggunakan zat daripada makan) dan gangguan tidur yang terjadi di luar detiksifikasi. Klien dapat mengalami kerusakan hati akibat minum alkohol, hepatitis atau infeksi HIV akibat penggunaan obat IV, atau kerusakan neurologis atau paru akibat menggunakan inhala.
b. Analisa Data
Setiap klien mempunyai diagnosis keperawatan spesifik untuk status kesehatan fisiknya. Hal ini dapat mencakup:
1) Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
2) Resiko infeksi
3) Resiko cedera
4) Diare
5) Kelebihan volume cairan
6) Intoleransi aktivitas
7) Defisit perawatan diri
Diagnosis keperawatan yang biasa digunakan ketika menangani klien yang menggunakan zat mencakup:
1) Penyangkalan tidak efektif.
2) Perubahan performa peran
3) Perubahan proses keluarga: alkoholisme.
4) Ketidakefektifan koping individu.
c. Identifikasi Data
Hasil terapi untuk klien yang menggunakan zat dapat mencakup:
1) Klien akan berhenti minum alkohol dan menggunakan zat.
2) Klien akan mengungkapkan perasaannya secara terbuka dan langsung.
3) Klien akan menyatakan kesediannya untuk bertanggung jawab atas perilakunya.
4) Klien akan mempraktikkan alternatif non kimia untuk menghadapi stres atau situasi yang sulit.
5) Klien akan menetapkan rencana setelah perawatan yang efektif.
d. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan untuk klien yang menyalahgunakan zat yaitu:
1) Penyuluhan kesehatan untuk klien dan keluarga
2) Hilangkan mitos tentang penyalahgunaan zat.
3) Kurangi perilaku codependent diantara anggota keluarga.
4) Lakukan rujukan yang tepat untuk anggota keluarga.
5) Tingkatkan keterampilang koping.
6) Bermain peran tentang situasi yang mungkin sulit.
7) Berfokus pada masa sekarang bersama dengan klien.
8) Terapkan tujuan yang realistis seperti tetap bersih dari zat hari ini.

1) Penyuluhan kesehatan untuk klien dan keluarga
Penyuluhan tentang relaps penting dilakukan. Anggota keluarga dan teman harus menyadari bahwa klien yang mulai kembali pada perilaku lainnya, kembali menggunakan zat, atau berpikir bahwa ia dapat mengatasi diri saya sendiri sekarang beresiko tinggi untuk relaps, dan mereka peru mengambil tindakan. Baik klien berencana untuk menghadiri self-hep group ataupun mempunyai sumber lain, rencana spesifik untuk dukungan dan keterlibatan yang berkelanjutan setelah terapi meningkatkan kesempatan klien untuk sembuh.
Penyuluhan yang dapat diberikan oleh seorang perawat kepada klien dan keluarga yaitu:
1) Penyalahgunaan zat merupakan suatu penyakit.
2) Hilangkan mitos tentang penyalahgunaan zat.
3) Abztinensi dari zat bukan masalah kuatnya kemauan.
4) Setiap alkohol, apakah itu bir, anggur, atau minuman keras, dapat menjadi zat yang dislahgunakan.
5) Obat yang diresepkan dapat menjadi zat yang disalahgunakan.
6) Umpan balik darikleuarga terhadap kembalinya klien ke mekanisme koping maladaptif sebelumnya adalah penting.
7) Partisipasi yang berkelanjutan dalam program setelah perawatan adalah hal yang penting.
2) Hilangkan mitos tentang penyalahgunaan zat.
Klien dan anggota keluarga membutuhkan fakta tantang zat, efeknya, dan penyembuhannya. Mitos dan pendapat yang salah seperti di bawah ini harus dihilangkan:
1) “Itu merupakan kuatnya kemauan”.
2) “Saya tidak dapat menjadi alkoholik jika saya hanya minum bir atau hanya minum pada akhir pekan”.
3) “Saya dapat belajar menggunakan obat dari masyarakat”.
4) “Saya baik-baik saja sekarang: saya dapat menanganinya dengan menggunakan zat sesekali”.
3) Kurangi perilaku codependent diantara anggota keluarga
Codependent merupakan suatu koping maladaptif pada anggota keluarga atau orang lain akibat hubungan yang lama dengan individu yang menggunakan zat. Codependent ditandai dengan keterampilan dalam berhubungan yang buruk, ansietas dan kekhawatiran yang berlebihan, berprilaku yang kompulsif, dan resisten terhadap perubahan. Pola perilaku disfungsional ini dipelajari ketika anggota keluarga mencoba menyesuaikan dengan perilaku pengguna zat. Perilaku codependent tampak bermanfaat, tetapi sebenarnya membuat seseorang terus menggunakan zat.
4) Lakukan rujukan yang tepat untuk anggota keluarga
Dalam menangani masalah penggunaan zat, diperlukan adanya kelompok pendukung dan kelompok terapi yang mana tersedia untuk menangani masalah anggota keluarga. Karena tanpa bantuan dan dukungan dalam pemahaman dan koping, banyak anggota keluarga dapat mengalami masalah penyalahgunaan zat sehingga meneruskan siklus disfungsional.
5) Tingkatkan keterampilang koping.
Perawat dapat mendorong klien untuk mengidentifikasi area masalah dalam kehidupannya dan menggali bagaimana penggunaan zat dapat memperbesar masalah tersebut. Klien tidak boleh mempercayai bahwa semua masalah kehidupan akan hilang dengan beralih dari zat, sebaliknya klien dapat memikirkan masalah tersebut dengan jelas. Perawat mungkin perlu mengalihkan perhatian klien kepada perilaku klien sendiri dan bagaimana perilaku tersbut memengaruhi masalah klien. Perawat tidak boleh membiarkan klien memusatkan perhatian pada peristiwa eksternal atau orang lain tanpa mendiskusikan perannya dalam masalah.
6) Bermain peran tentang situasi yang mungkin sulit
Bermain peran tentang situasi yang sulit bagi klien di masa lalu dapat bermanfaat. Hal ini juga merupakan kesempatan untuk membantu klien belajar menyelesaikan masalah atau mendiskusikan situasi dengan orang lain dengan cara yang lebih efektif dan tenang.
7) Berfokus pada masa sekarang bersama dengan klien
Perawat dapat membantu klien berfokus pada masa sekarang, bukan pada apa yang terjadi di masa lalu. Memikirkan masalah dan menyesali masa lalu tidak bermanfaat bagi klien. Sebaliknya, klien berfikus pada apa yang dapat ia lakukan sekarang terkait dengan perilaku atau hubungannya.
8) Terapkan tujuan yang realistis seperti tetap bersih dari zat hari ini.
Klien dapat memerlukan dukungan perawat untuk memandang kehidupan dan bersih dari zat dalam jangka waktu yang memungkinkan.

e. Evaluasi
Keefektifan terapi penyalahgunaan zat banyak didasarkan pada abstinensi klien dari zat. Selain itu, terapi yang berhasil harus menghasilkan performa peran yang lebih stabil, perbaikan hubungan interpersonal, dan peningkatan kepuasan dengan kualitas kehidupan.



3. Proses Keperawatan Berdasarkan Pemakaian Zat Alkohol dan 3 Golongan Efek Dari Pemakaian Napza
a. Gangguan Terkait Alkohol
Alkohol adalah suatu obat depresan SSP yang biasa digunakan dalam masyarakat kita karena berbagai alasan (mis. untuk meningkatkan cita rasa makanan, mendorong relaksasi, dan kesenangan saat berkumpul dengan teman-teman, merayakan sesuatu, dan sebagai salah satu bagian dari upacara keagamaan). Secara teraupetik, alkohol banyak terkandung dalam obat yang dijual bebas/diresepkan. Alkohol tidak akan berbahaya, bahkan alkohol akan menyenangkan, dan kadang menguntungkan jika digunakan secara bertanggung jawab dan tidak berlebihan. Tetapi, seperti halnya obat-obatan lain yang dapat mengganggu pikiran, alkohol berpotensi untuk disalahgunakan dan, pada kenyataannya, merupakan obat yang paling banyak disalahgunakan di Amerika Serikat (penelitian mnunjukkan penyalahgunaan alkohol dilakukan oleh 5% sampai 10% dari populasi orang dewasa) dan dapat berpotensi fatal. Biasanya, klien yang menjalani perawatan di rumah mnggunakan alkohol bersama-sama dengan obat-obatan lainnya. Diyakini bahwa alkohol sering digunakan oleh klien yang mempunyai penyakit mental untuk mengurangi nyeri yang mereka rasakan. Istilah “diagnosis ganda” digunakan untuk menjelaskan hubungan antara penggunaan/penyalahgunaan obat-obatan (termasuk alkohol) dengan diagnosis psikiatrik lainnya. Tetapi, adanya dua jenis kondisi tersebut perlu diketahui sehingga berbagai masalah pengobatan yang sering muncul secara berlebihan terjadi karena adanya kedua jenis kondisi tersebut.
Rencana perawatan ini ditunjukkan untuk iintoksikasi/putus alkohol yang akut dan dapat digunakan bersama-sama dengan MK: Rehabilitasi Ketergantungan/Penyalahan zat.
1) Teori Etiologis
a) Psikodinamika
Individu terfiksasi pada suatu tingkat perkembangan yang lebih rendah, dengan ego yang terbelakang dan superego yang lemah. Individu tersebut mempunyai sifat ketergantungan yang sangat tinggi, yang ditandai dengan control rangsang yang buruk, toleransi frustasi yang rendah, dan harga diri yang rendah.
b) Biologis
Enzim, gen, kimia otak, dan horrmon membentuk dan mempengaruhi respon seseorang terhadap alkohol adalah (1) familial, yang sebagian besar diturunkan dari keluarga, dan (2) didapat. Riwayat gangguan akibat kurang perhatian atau gangguan perilaku pada masa kecil juga dapat meningkatkan resiko seorang anak menjadi pecandu alkohol. Beberapa perubahan fisiologis tertentu mungkin juga dapat menyebabkan terjadinya kecanduan alkohol atau alkoholisme.
c) Dinamika Keluarga
Satu dari 12-15 orang mempunyai masalah dengan minuman keras. Dalam system keluarga yang tidak berfungsi dengan baik, alkohol dianggap sebagai metode utama untuk menghilangkan stress. Anak- anak dengan masalah kecanduan alkohol mempunyai kemungkinan 4kali lebih besar berkembang menjadi alkoholisme daripada anak-anak yang tidak mengalami masalah kecanduan alkohol. Anak mempunyai model peran yang negative dan belajar berespons terhadap situasi yang penuh stress dengan menggunakan cara yang sama dengan cara yang digunakan oleh model peran yang ada. Penggunaan alkohol adalah budaya, dan banyak factor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk mengkonsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak dan frekuensi yang sering. Penyangkalan terhadap penyakit dapat menjadi hambatan yang besar untuk mengindentifikasi dan mengobati alkoholisme dan penyalahgunaan alkohol.
2) Data Dasar Pengkajian Pasien
Data bergantung pada lama/banyaknya alkohol yang digunakan, obat-obatan lain yang digunakan secara bersamaan, banyaknya organ tubuh yang telah dipengaruhi, dan adanya kondisi psikiatri lainnya.
a) Aktivitas atau Istirahat
Sulit tidur, tidak dapat beristirahat dengan baik.
b) Sirkulasi
(1) Nadi perifer lemah, tidak teratur atau cepat.
(2) Hipertensi umumnya terjadi pada gejala putus alkohol tahap awal, tetapi mungkin dapat berubah menjadi labil/ menjadi hipotensi.
(3) Takikardia umumnya terjadi pada gejala putus alkohol akut
c) Integritas Ego
(1) Perasaan bersalah/malu, bertahan untuk tetap minum alkohol.
(2) Menyangkal, rasionalis
(3) Keluhan adanya stressor yang multiple;masalah yang berhubungan dengan orang lain.
(4) Stressor/kehilangan multiple (hubungan dengan orang lain, pekerjaan, keuangan)
(5) Penggunaan obat-obatan untuk mengatasi stressor dalam hidup, rasa bosan, dll
d) Makan atau Minum
(1) Mual/muntah, toleransi terhhadap makanan.
(2) Penurunan kekuatan otot, rambut kering/rapuh, pembengkakan kelenjar ludah, peradanggan rongga mulut, kerapuhan pembuluh kapiler (malnutrisi).
(3) Terlihat edema jaringan pada seluruh tubuh (defisiensi protein).
(4) Distensi ambung; asites, pembesaran hati (seperti yang ditemukan pada sirosis).
e) Neurosensorik
(1) Sakit kepala, pusing, pandagan kabur, pingsan.
(2) Hilang ingatan/konfabulasi (tidak bisa bicara).
(3) Tingkat kesadaran/orientasi: konfusi, stupor, hiperaktifitas, gangguan proses pkir, wicara inkoheren/kacau.
(4) Halusinasi: lihat, raba, cium dan dengar (mis, mengambil sesuatu dari udara atau memberi respons pada orang atau suara yang tidak terlihat).
f) Nyeri atau ketidaknyamanan
Klien mungkin melaporkan adanya nyeri dan rasa perih pada abdomen bagian atas yang menyebar kepunggung (peradangan pangkreas).
g) Pernapasan
(1) Riwayat penggunaan tembakau, masalah pernapasan kronis/berulang.
(2) Takipnea (status hiperaktif dari gejala putus alkohol).
(3) Pernapasan Cheyne-stokes atau depresi pernapasan.
(4) Bunyi napas: ada pengurangan/penambahan bunyi (menunjukkan kompilkasi ulmonal [mis, depresi pernapasan, pneumonia]).
h) Keamanan
(1) Riwayat kecelakaan berulang, seperti jatuh, fraktur, laserasi, luka bakar, pingsan, atau kecelakaan mobil.
(2) Fraktur yang sudah sembuh atau fraktur baru (tandanya ada trauma baru/berulang).
(3) Peningkatan suhu tubuh (dehidrasi dan stimulasi saraf simpatis); kemerahan/diaphoresis (menunjukkan adanya infeksi).
(4) Ide/usaha bunuh diri.
i) Interaksi Sosial
(1) Sering tidak masuk kerja/sekolah karena sakit, berkelahi dengan orang lain, ditahan pihak keamanan.
(2) Disfungsi sistem keluarga; mempunyai masalah berhubungan dengan orang lain.
j) Pengajaran dan pembelajaran
(1) Riwayat penggunaan /penyalahgunaan alkohol dan obat-obat lain.
(2) Riwayat hospitalisasi karena alkoholisme.
(3) Riwayat alkoholisme/penggunaan obat-obatan dalam keluarga.
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Urinalisis: infeksi mungkin dapat terdeteksi; ditemukan keton yang berhubungan dengan pemecahan asam lemak akibat malnutrisi.
b) Kadar alkohol/obat dalam darah : Kadar alkohol dalam darah tergantung pada jumlah alkohol/obat-obatan yang dikonsumsi dan selang waktu antara pemakai dan pemeriksa.
c) Glukosa: menunjukkan hiperglikemia/hipoglikemia yang berhubungan dengan pankreatitis, malnutrisi, atau penurunan cadangan glikogen hati.

b. Gangguan Terkait-Inhalan dan Stimulus (Amfetamin, Kokain, Kafein, dan Nikotin)
Stimulant adalah obat-obatan alami dan buatan yang dapat meningkatkan kerja system saraf. Obat-obatan tersebut dapat ditelan, disuntikan, dihisap, atau dibakar. Obat-obatan ini dapat diidentifikasi melalui perubahan tingkah laku dan agitasi psikomotor. Struktur molekul dan mekanisme kerja obat-obatan ini sangat berbeda. Obat-obatan stimulant yang paling prevalen dan paling sering digunakan adalah kafein dan nikotin. Kafein merupakan unsure yang umumnya terdapat dalam kopi, the, kola, dan cooklat. Nkotin merupakan unsure utama yang terdapat daalam tembakau. Obat-obtan tersebut dipandang sebagai bagian dari budaya kita, biasanya tidak dianggap dapat menyebabkan overdosis, dan diuraikan disini hanya sebagai informasi. Obat-obatan stimulan yang poten lainnya (contohnya kokain, amfetamin, dan obat-obatan stimulant nonamfetamin) diatur dalam Controlled Substance Act. Obat-obatan tersebut tidak hanya tersedia untuk tujuan pengobatan dengan menggunakan resep dokter, tetapi juga tersedia secara luas sebagai obat terlarang. Kemungkinan terjadinya overdosis dan kematian akibat obat-obatan ini sangat tinggi.
Zat-zat inhalasi, misalnya bensin, lem,cat/tinner cat, cat semprot, bahan campuran pembersih, dan cairan penghapus, dan beberapa nama lainnya, tidak diklasifikasikan sebagai obat-obatan stimulan tetapi, efek intoksikasi dari berbagai produk ini dan intervensi terapeutik yang dilakukan sama dengan obat-obatan stimulan sehingga ikut diuraikan disini.
Rencana perawatan ini ditujukan untuk mengatasi masalh intoksikasi/putus obat akut dan digunakan bersama-sama dengan masalah utama; rehabilitasi ketergantungan/penyalahgunaan obat.


1) Teori Etiologis
a) Psikodinamika
Individu yang menyalahgunakan obat-obatan gagal menyelesaikan tugas-tugas tidak terkait dengan keindividuan, dan menyebabkan tidak berkembangnya ego. Individu tersebut memiliki sifat ketergantungan, yang ditandai dengan control rangsang yang rendah, toleransi yang rendah terhadap frustasi, dan harga diri ynag rendah, kepatuhan aturan social yang rendah, neurotoksisme, dan introversi. Superego yang lemah menyebabkan hilangnya rasa bersalah terhadap perilaku. Status psikiatrik dasar harus dikaji, bila individu menggunakan obat-obatan stimulan karena alasan pengobatan
(diagnosis ganda).
b) Biologis
Mata rantai genetik yang nyata mempunyai pengaruh dalam berkembangnya gangguan penggunaan zat. Namun, angka statistik yang ada tidak memberi kesimpulan yang berhubungan dengan penyalahgunaan obat-obaatan stimulant.
c) Dinamika Keluarga
Predisposisi gangguan penggunaan obat-obatan terjadi pada system keluarga yang tidak berfungsi. Predisposisi tersebut antara lain orang tua yang tidak lengkap atau orang tua yang kejam dan/atau mereka yang mempunyai salah satu orang tua yang lemah dan tidak efektif. Penyalahgunaan obat-obatan mungkin digunakan sebagai metode utama untuk menghilangkan stress. Anak mempunyai model peran yang negatif dan belajar berespons terhadap situasi yang penuh stress dengan menggunakan sikap yang sama dengan model peran yang dimilikinya.
2) Data Dasar Pengkajian Pasien
Klien mungkin memperlihatkan gejala intoksikasi atau putus obat dengan tahap yang bervariasi sehingga akan mempengaruhi data-data yang diperoleh. Data tergantung pada tahap putus obat, penggunaan obat-obatan stimulan bersama-sama dengan alkohol/obat-obatan lainnya, atau kontaminan dalam pemutusan obat.
a) Aktivitas atau Istirahat
(1) Insomnia, hipersomnia, mimpi buruk
(2) Ansietas
(3) Hiperaktivitas, kewaspadaan meningkat, atau tertidur saat beraktivitas, letargi (pada penggunaan obat-obatan inhalasi)
(4) Tidak mampu menoleransi atau memperbaiki kelemahan kronis (depresi dan/atau kesepian mungkin menjadi salah satu factor)
(5) Kelemahan otot secara umum, inkoordinasi, cara berjalan yang tidak stabil (pada penggunaan obat-obatan inhalasi).
b) Sirkulasi
(1) Tekanan darah biasanya meningkat, mungkin terjadi hipotensi takikardia, denyut tidak teratur.
(2) Diaphoresis
c) Integritas Ego
(1) Perlu merasa gembira, dapat bersosialisasi, bahagia dengan diri sendiri, ingin membuktikan makna diri, meningkatkan konsep diri, sangat menginginkan kegembiraan.
(2) Kompulsi akibat penggunaan obat-obatan (penggunaan obat-obatan untuk merayakan sesuatu atau saat berada pada situasi krisis, meyakini bahwa obat dapat digunakan dengan jumlah yang sesuai dengan aturan, sering terjadi dalam pesta minum-minuman keras) mungkin akan berpikir bahwa penyembuhan harus diraih melalui usaha yang keras, subjek untuk mengontrol rangsang.
d) Makan atau Minum
(1) Mual/muntah, tidak nafsu makan.
(2) Kehilangan BB.
(3) Tidak tertarik dengan makanan.
e) Neurosensorik
(1) Gejala-gejala emosi/psikologis (contohnya gembira, waham, banyak bicara, waspada yang berlebihan).
(2) Dilatasi pupil.
(3) Apatis, euforia.
f) Nyeri atau ketidaknyamanan
Nyeri tulang/dada.
g) Pernapasan
(1) Takipnea, batuk.
(2) Ranitis nasal (pada penggunaan kokain kronis).
(3) Perdarahan pulmonal.
h) Keamanan
(1) Riwayat kecelakaan: terpajan pada PMS, termasuk HIV).
(2) Peningkatan suhu tubuh, demam/kedinginan.
(3) Adanya bekas trauma (contohnya memar, laserasi, luka bakar), kerusakan nasal.
(4) Perilaku menyerang (pada penggunaan inhalan.
i) Interaksi Sosial
(1) Perubahan fungsi dalam berhubungan dengan orang lain, tidak mampu menahan diri terhadap keinginan seksual.
(2) Sistem keluarga yang tidak berfungsi.
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Skrining obat dalam darah dan urine: mengidentifikasi adanya jenis obat yang sedang digunakan.
b) Pemeriksaan hepatitis dan HIV: dapat dilakukan rutin pada pemakaian obat yang telah diketahui menggunakan obat.


c. Gangguan Terkait-Depresan (Barbiturat, Nonbarbiturat, Hipnotik dan Ansiolitik, Opioid)
Depresan SSP merupakan obat-obatan yang memperlambat kerja SSP. Obat-obatan tersebut biasanya terdiri dari empat jenis, yaitu barbiturat, obat antiansietas, sedatif-hipnotik, dan narkotik (oploid seperti morfin, heroin).
Depresan SSP diberikan untuk mengatasi gejala ansietas, depresi, dan gangguan tidur merupakan jenis obat-obatan yang paling digunakan dan disalah gunakan.obat-obatan ini sering disalahgunakan jika kondisi sebelumnya tidak dapat teratasi. Kadang-kadang obat-obatan ini digunakan bersama-sama dengan obat-obatan stimulan ,dengan pola stimulannya digunakan untuk “ menerbangkan “ dan depresan diperlukan untuk “menurunkan”.
Prinsip yg digunakan untuk semua jenis depresan SSP, yaitu : (1) efek obat obat-obatan tersebut bersifat interaktif dan komulatif satu sama lain dan mempunyai akibat pada perilaku pemakai obat,(2)tidak ada antagonis spesifik yg yang dapat menghentikan obat-obatan tersebut.(3)penggunaan dosis rendah dapat menimbulkan respon eksitasia, (4) obat-obatan tersebut mampu menimbulkan ketergantungan fisiologis dan psikologis; dan (5) cross toleransi dan Cross ketergantungan mungkin dapat terjadi antara berbagai jenis depresan SSP.
Rencan keperawatan ini ditujukan untuk masalah intoksikasi ?putus obat akut digunakan bersama MK;Rehabilitasi Ketergantungan / Penyalah gunaan Obat.
1) Teori Etiologis
a) Psikodinamika
Individu yang menyalah gunakan obat-obatan gagal menyelesaikan tugas memisahkan sifat individusehingga mengakibatkan ego menjadi tidak berkembang. Orang tersebut mempunyai sifat ketergantungan yang tinggi , dengan ciri-ciri antara lain lemahnya kontrol terhadap rangsang ,rendahnya toleransi terhadap frustasi, dan harga diri rendah.
b) Biologis
Genetik perkirakan mempunyai pengaruh pada perkembangannya gangguan penggunaan obat-obatan . walaupun data statistik tidak memberikan kesimpulan, faktor hereditas umunya dipandang sebagai salah satu faktor yang menyebabkan salah satu penyalahgunaan obat-obatan.
c) Dinamika Keluarga
Ada predisposisi yang nyata pada gangguan penyalahgunaan obat dalam sistem keluarga yang tidak berfungsi. Faktor-faktor, misalnya tidak lengkapnya orang tua atau orang tua yang berkuasa atau sangat lemahnya dan tidak berfungsi , dan penggunaan obat-obatan sebagai metode utama untuk menghilang stress , memberikan kontribusi terjadi disfungsi ini. Model peran seperti ini mempunyai pengaruh yang negatif , dan anak akan belajar mengatasi stress dengan cara yang sama. Namun, orang tua normal dengan anak yang tidak mampu mengahadapi tekanan yang besar dari teman sebaya dapat menjadikan anak tersebut terlibat dengan obat-obatan. Faktor-faktor kultur seperti diterimanya penggunaan alkohol dan obat-obatan lainnya juga dapat mempengaruhi pilihan seseorang untuk menggunaan obat-obatan.
2) Data Dasar Pengkajian Pasien
Data bergantung pada tahap putus obat dan pemakaian obat secara bersamaan dengan alkohol/obat-obatan lain.
a) Aktivitas atau Istirahat
(1) Malaise umum
(2) Gangguan pola tidur , insomnia (pada putus obat)
(3) Latergi, mengantuk samnolen
(4) menguap
b) Sirkulasi
(1) Nadi biasanya lambat ; takikardi (menunjukan sindrom putus obat); nadi teratur fibrilasi atrium, disritmia ventrikuler)
(2) hipotensi
c) Integritas Ego
(1) Menggunakan obat-obatan untuk mengatasi stress
(2) Merasa tidak tertolong , putus asa tidak mampu
(3) Ego kurang berkembang ; mempunyai sifat ketergantungan yang tinggi , dengan ciri-ciri kontrol impuls yang buruk , toleransi frustasi yang rendah dan harga diri yang rendah
(4) Superego yang lemah, disertai dengan hilangnya perasaan bersalah
(5) Faktor-faktor psikokultural (mis. Kepribadian) dipandang sebagai hal yang signifikan disertai dengan penggunaan / penyalahgunaan obat-obatan.
d) Makan atau Minum
Mual, muntah
e) Neurosensorik
(1) Kedutan
(2) Status mental: konfusi, mempunyai masalah konsentrasi dan memori ; gangguan penilaian disertai dengan beberapa perubahan efek ; mungkin dapat terjadi gangguan kesadaran dari tingkat agitasi yang ekstrem sampai dengan koma; bicara kacau.
(3) Prilaku: perubahan alam perasaan , kurang motivasi , agresi , berkelahi (berhubungan dengan efek “disinhibisi” umum dari obat , hilangnya kontrol terhadap impuls), alam perasaan disforia (pada putus obat)
f) Nyeri atau ketidaknyamanan
Sakit kepala, nyeri/kram berat pada abdomen. Sakit otot. Nyeri otot / tulang (pada sindrome putus obat)
g) Pernapasan
(1) Rinorea yang terus menerus, lakrimasi yang berlebihan, bersin. depresi pernafasan (pada overdosis)
(2) Peningkatan frekuensi pernafasan (pada sindrome putus obat)
h) Keamanan
(1) Panas/ dingin ; diaforesis
(2) Termoregulasi tidak stabil disertai dengan hiperpireksia, mungkin terdapat hipotermia
(3) Kulit: piloereksi (“gooseflesh”) luka fungsi pada lengan, tangan, kaki ,dibawah lidah ,menjadi indikasi pengguanaan obat-obatan yang disuntikan.
i) Interaksi Sosial
(1) Sistem keluarga tidak berfungsi
(2) Pola interaksi dengan keluarga / orang lain tidak berfungsi

3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Skrining obat : mengidentifikasi obat-obatan yang sedang digunakan
b) Skrining PMS : untuk menentukan adanya HIV , hepatitis B .dll
c) Pemeriksaan skrining lain: bergantung pada kondisi umum , faktor resiko individu , dan tempat perawatan.
d) Indeks keparahan adiksi: memperlihatkan profil beratnya masalah yang menunjukan area pengobatan yang dibutuhkan

d. Gangguan Terkait-Halusinogen Fensiklidin dan Kanabis
Obat-obat yang bersifat halusinogenik dapat menngubah persepsi individu terhadap realita, mengganggu persepsi sensori, dan menyebabkan halusinasi. Oleh karena itu obat-obat ini disebut obat yang “memperluas pikiran”. Pengaruh yang ditimbulkan setiap kali obatt-obatan ini digunakan tidak dapat diprediksi, dan reaksi yang merugikan termasuk flashback dapat terjadi setiap saat, walaupun obat-obatan ini tidak digunakan lagi.
Halusinogen telah digunakan sebagai bagian dari upacara keagaamaan dan pada perkumpulan sosial penduduk asli Amerika selama lebih dari 2000 tahun. Penggunaan terapeutik obat-obat LSD telah diajukan, tetapi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Pada saat ini, tidak ada bukti yang menyebutkan keamanan dan efektivitas LSD pada manusia.
Dari sekian banyak obat yang menyebabkan perubahan mood dan persepsi yang bervariasi dari ilusi sensorik hingga halusinasi, jenis yang paling populer dan dikenal adalah ergot dan sejenisnya (LSD, morning glory), fenil alkilamin (meskalin, “STP”, dan MDMA atau “ekstasi”), dan indol alkaloid (DMT).
Klasifikasi terpisah dari obat-obatan ini terdiri dari fensiklidin (PCP, “angel dust”, HOG) dan obat gabungan yang mempunyai daya kerja yang sama seperti ketamin (ketalar) dan tiofen analog dari fensiklidin (TPC). Walaupun obat-obatan ini mempunyai struktur kimia yang berbeda, obat-obatan ini mempunyai efek halusiogenik yang sama dan akan diuraikan di sini.
Selain itu, kanabis (mariyuana, ganja, THC sintetik) juga menyebabkan gangguan status kesadaran yang disertai dengan perasaan relaksasi dan euforia ringan dan sering kali digunakan secara bersamaan dengan obat-obatan lainnya.
Rencana perawatan ditujukan untuk masalah intoksikasi / gejala putus obat akut dan digunakan bersamaan dengan MK: rehabilitasi ketergantungan/penyalahgunaan zat.
1) Teori Etiologis
a) Psikodinamika
Individu akan melakukan penyalahgunaan obat-obatan gagal meyelesaikan tugas memisahkan sifat individu yang mengakibatkan ego menjadi kurang berkembang. Orang tersebut diperkirakan mempunyai sifat ketergantungan yang tinggi, yang ditandai dengan kontrol impuls yang buruk, toleransi frustasi yang rendah, dan harga diri yang rendah. Superegonya lemah menyebabkan hilangnya perasaan bersalah terhadap perilakunya.
Beberapa kepribadian tertentu mungkin memainkan bagian penting dalam perkembangan dan mempertahankan ketergantungan. Karakteristik yang dapat diidentifikasikan antara lain impulsivitas, konsep diri yang negatif, ego yang lemah, kepatuhan aturan sosial yang rendah, neurotitisme, dan introversi. Penyalahgunaan obat-obatan juga dihubungkan dengan tipe kepribadian antisosial dan gaya respons yang depresif.
b) Biologis
Genetik diperkirakan dapat mempengaruhi berkembangan gangguan penyalahgunaan obat-obatan. Walaupun data statistik tidak memberi kesimpulan, faktor hereditas umumnya dianggap sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya penyalahgunaan obat-obatan. Baru-baru ini telah dilakukan penelitian tentang peran faktor biokimia pada masalah penyalahgunaan obat-obatan.
c) Dinamika Keluarga
Salah satu predisposisi yang ditemukan pada sistem keluarga yang tidak berfungsi. Sering kali disebabkan oleh orang tua yang tidak menunjukkan kekuasaan atau berkuasa secara berlebihan, dan atau orang tua yang lemah,
2) Data Dasar Pengkajian Pasien
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jenis reaksi (positif atau negatif) yang dialami oleh para pengguna halusinogen meliputi irama sirkadian (keletihan), pengalaman sebelumnya dalam menggunakan obat-obatan, kepribadian, mood dan harapan individu. Penggunaan zat atau obat bersamaan dngan alcohol atau obat lainnya dapat menambah gejala-/reaksi yang terjadi. Tingkat pendidikan seseorang juga dapat menimbulkan persepsi yang berbeda tentang penyalahgunaan zat.
a) Aktivitas atau Istirahat
(1) Insomnia atau keletihan
(2) Gangguan tidur/selalu terjaga.
(3) Hiperaktifitas
b) Sirkulasi
(1) Penurunan TD diastolik (pada penggunaan kanabis, PCP dosis tinggi).
(2) Hipertensi, krisis hipertensi (pada penggunaan PCP dosis rendah sampai sedang).
(3) Takhikardi/palpitasi; kemungkinan terjadi distritmia (pada penggunaan PCP dosis tinggi)
c) Integritas Ego
(1) Euphoria, ansietas, curiga, paranoia (pada psikosis PCP).
(2) Penyalahgunaan zat menjadi metode koping yang utama.
(3) Sifat ketergantungan yang tinggi, dengan karakteristik meliputi control impuls yang buruk, toleransi frustasi yang rendah, konsep diri yang rendah; depersonalisasi, super ego yang lemah akan menyebabkan hilangnya perasaan bersalah terhadap perilaku atau mencela diri sendiri, perasaan bersalah yang berlbihan, sangat ketakutan.
(4) Mood menunjukkan depresi atau ansietas.
(5) Preokupasi dengan pendepatnya sendiri bahwa otaknya telah rusak dan atau tidak akan kembali ke dalam normal.
d) Makan atau Minum
(1) Nafsu makan meningkat (pada penggunaan kanabis)
(2) Mual atau muntah, saliva meningkat.
e) Neurosensorik
(1) Pandangan kabur, gangguan persepsi kedalaman.
(2) Pusing, sakit kepala (pada penggunaan LSD).
(3) Tidak ada koordinaasi otot atau tremor, spasme atau peningkatan kekuatan otot.
(4) Tingkat kesadaran: biasanya responsive; dapat terjadi, khususnya bila terjadi perdarahan intra cranial.
(5) Status mental: perubahan persepsi, delirium dengan status kesadaran yang tidak jelas, mood; euphoria atau disforia; ansietas, emosi yang labil dan apatis, perilaku; menyerang, perilaku aneh, senang berkelahi, keserangan panic.
f) Nyeri atau ketidaknyamanan
(1) Penurunan kesadaran terhadap rasa nyeri.
(2) Nyeri dada ecara tiba-tiba (jika obat-obatan digunakan dengan cara menghisab asapnya).
g) Pernapasan
(1) Penurunan frekuensi atau kedalaman napas
(2) Ronchi
h) Keamanan
(1) Melakukan tindakan yang beresiko tinggi.
(2) Riwayat trauma kecelakaan, diaphoresis, perilaku menyerang (perilaku yang beresiko terhadap diri sendiri).
i) Interaksi Sosial
(1) Tekanan yang besar dari teman sebaya dapat menyebabkan pemakaian obat-obatan.
(2) System keluarga yang tidak berfungsi (orang tua yang overprotektif atau tirani tidak memperhatikan atau orang tua yang lemah dan tidak efektif).
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Skrining obat/urinalisis: untuk mengidentifikasi obat-obatan yang sedang digunakaan.
b) Pemeriksaan krining lain (mis. Hepatitis, HIV, TB): bergentung pada kondisi umum, factor resiko individual, dan tempat perawatan.
c) Indeks keparahan adiksi: untuk mengkaji tingkat penyalahgunaan obat-obatan dan menentukan engobatan yang diperlukan.


4. Strategi pelaksanaan dalam Keperawatan Jiwa
a. SP Pasien
1) Sp 1
a) Membina hubungan saling percaya.
b) Mendiskusikan dampak NAPZA.
c) Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi.
d) Mendiskusikan cara mengontrol keinginan.
e) Latihan cara meningkatkan motivasi.
f) Latihan cara mengontrol keinginan
g) Membuat jadwal aktivitas
2) Sp 2
a) Mendiskusikan cara menyelesaikan masalah.
b) Mendiskusikan cara hidup sehat.
c) Latihan cara menyelesaikan masalah.
d) Latihan cara hidup sehat.
e) Mendiskusikan tentang obat
b. SP Keluarga
1) Sp 1
a) Mendiskusikan masalah yang dialami.
b) Mendiskusikan tentang NAPZA.
c) Mendiskusikan tahapan penyembuhan.
d) Mendiskusikan cara merawat.
e) Mendiskusikan kondisi yang perlu dirujuk.
f) Latihan cara merawat
2) Sp 2
a) Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi.
b) Mendiskusikan pengawasan dalam minum obat

D. REHABILITASI PENYALAHGUNAAN/KETERGANTUNGAN NAPZA
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).
Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003).
Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit. Setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun.
Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada bagan di bawah ini
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi. Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:
- Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
- Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA.
- Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya.
- Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik.
- Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
- Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya.

1. Jenis program rehabilitasi:
1) Rehabilitasi psikososial
Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat (reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai latihan kerja di pusat-pusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.
2) Rehabilitasi kejiwaan
Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua berperilaku maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing dan mengasuhnya. Meskipun klien telah menjalani terapi detoksifikasi, seringkali perilaku maladaptif tadi belum hilang, keinginan untuk menggunakan NAPZA kembali atau craving masih sering muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan dan depresi serta tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan yang sering disampaikan ketika melakukan konsultasi dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi psikofarmaka masih dapat dilanjutkan, dengan catatan jenis obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif (menimbulkan ketagihan) dan tidak menimbulkan ketergantungan. Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang penting adalah psikoterapi baik secara individual maupun secara kelompok. Untuk mencapai tujuan psikoterapi, waktu 2 minggu (program pascadetoksifikasi) memang tidak cukup; oleh karena itu, perlu dilanjutkan dalam rentang waktu 3 – 6 bulan (program rehabilitasi). Dengan demikian dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi yang tepat bagi masing-masing klien rehabilitasi. Yang termasuk rehabilitasi kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga broken home. Gerber (1983 dikutip dari Hawari, 2003) menyatakan bahwa konsultasi keluarga perlu dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang mengalami penyalahgunaan NAPZA.
3) Rehabilitasi komunitas
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat. Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai koselor, setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di sini klien dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi atau nagih (craving) dan mencegah relaps. Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam proses terapi. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya, penghargaan bagi yang berperilaku positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.
4) Rehabilitasi keagamaan
Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah cukup untuk memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing. Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini dapat menumbuhkan kerohanian (spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA apabila taat dan rajin menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila kadang-kadang beribadah risiko kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak sama sekali menjalankan ibadah agama risiko kekambuhan mencapai 71,6%.

Minggu, 30 Mei 2010

LIMBAH

A. Peranan Manusia dalam Pemeliharaan Lingkungan

Sejak lama manusia telah memanfaatkan lingkungan untuk berbagai keperluan. Akan tetapi, dalam pemanfaatannya sering kali menyebabkan lingkungan tersebut menjadi terganggu atau rusak. Kerusakkan lingkungan itu mungkin disebabkan oleh pemanfaatannya yang melebihi daya dukung atau penggunaan alat-alat yang berpotensi merusak.

Mengelola lingkungan merupakan suatu upaya terpadu dalam memanfaatkan, menata, memelihara, mengawasi, mengendalikan, memulihkan dan mengembangkan lingkungan. Pengelolaan lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu sebagai berikut:

1. Penanggulangan secara Administrasi

Secara administrasi pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan dengan menerbitkan peraturan dan undang-undang untuk mencegah pencemaran dan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam. Peraturan dan perundang-undangan itu diantaranya:

* pelanggaran pembuangan limbah oleh industri ke lingkungan sebelum diolah terlebih dulu untuk dinetralkan,
* cerobong asap pabrik harus dilengkapi dengan saringan udara,
* produk-produk industri harus ramah lingkungan, misalnya menghentikan kelompok gas CFC (chloro fluoro carbon) dan digantikan senyawa yang lebih ramah lingkungan,
* setiap industri harus memiliki instalasi pengolahan limbah cair sendiri,
* bagi pengembang harus melakukan studi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebelum membangun pabrik,
* pembangunan pabrik atau industri harus jauh dari daerah pemukiman, dan
* menerbitkan panduan baku mutu lingkungan dan sosialisasi konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

2. Penanggulangan secara Teknologis

Beberapa industri perlu mengadakan unit pengolah limbah. Misalnya, PT.SIER (Surabaya indusrial estate rungkut) telah memiliki IPAL (instalasi pengolahan air limbah) untuk mengolah semua limbah cair yang berasal dari pabrik-pabrik di sekitarnya sebelum limbah cair tersebut di buang ke lingkungan.

Cara lain adalah membuat jalur hijau dan taman kota di daerah perkotaan atau daerah industri. Tujuannya agar CO2 yang dihasilkan dari pembakaran mesin kendaraan bermotor dan mesin pabrik serta pernapasan makhluk hidup dapat diserap oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis. Sementara O2 yang dihasilkan oleh tumbuhan dari proses fotosintesis dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup. Selain itu juga untuk keindahan kota dan tempat rekreasi.

3. Penanggulangan secara Edukatif

Kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah

a. mengadakan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran mereka dalam menjaga kelestarian lingkungan,

b. menanamkan sikap positif terhadap lingkungan. Misalnya, himbauan agar tidak mencemari lingkungan dengan membuang limbah di sembarangan tempat dan menyarankan penggunaan secara berulang kali terhadap benda-benda seperti kertas, plastic, dan kaleng sebelum dibuang,

c. disampaikan juga tentang segi negatif dari penggunaan pestisida sehingga masyarakat tidak mencuci peralatan penyemprot pestisida di sungai, sumur, dan parit, tidak membuang pestisida di sembarang tempat, dan menghindari penggunaan pestisida secara berlebihan,

d. usaha pengawetan tanah harus dilakukan sedini mungkin, dengan beberapa upaya sebagai berikut:

I. Menghindari terjadinya erosi

Erosi merupakan proses terkikisnya partikel tanah dan batuan menjadi partikel yang lebih kecil oleh air dan angin. Beberapa cara mencegah erosi.

v Membuat sengkedan pada tanah pertanian yang miring untuk mengurangi terhanyutnya partikel tanah oleh kecepatan aliran air.

v Melakukan reboisasi atau penghijauan pada lahan yang kritis dengan cara menanami tanah tersebut dengan tanaman tahunan, misalnya pohon sengon (Acasia auriculiformis).

II. Ada beberapa cara yang biasa dilakukan untuk mengembalikan kesuburan tanah, yaitu sebagai berikut.

v Pemupukan, yaitu memberi zat hara yang dibutuhkan oleh tanaman.

v Rotasi tanaman, yaitu menanami lahan peranian dengan jenis tanaman yang berbeda secara bergantian. Tujuannya adalah untuk mempertahankan keseimbangan unsur hara yang ada di dalam tanah karena setiap jenis tanaman memerlukan unsur hara yang tidak sama.

v Penghijauan, yaitu tindakan menanam pohon. Akar-akar pohon tersebut dapat berperan untuk menjaga tanah agar tidak mudah longsor serta menjaga tersedianya air tanah.


4. Mengatur Tata Guna Lahan dan Air

Penggunaan lahan untuk berbagai keperluan, seperti untuk pertanian, pemukiman, dan industri harus tertib penempatannya. Sebab, penggunaan yang tidak tepat dapat mengancam kelestarian sumber air yang diperlukan oleh semua makhluk hidup. Kelestarian air berhubungan erat dengan kelestarian tanah dan hutan. Kerusakan huta dapat menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas air.

B. Macam-macam Limbah


1. Macam-macam Limbah yang Dapat di daur Ulang

Berikut ini adalah beberapa jenis limbah atau material yang dapt dimanfaatkan melalui daur ulang.

§ Kertas

Semua jenis kertas dapat didaur ulang, seperti kertas Koran dan kardus.

§ Gelas

Botol kecap, botol sirup dan gelas/piring pecah dapat digunakan untuk membuat botol, gelas atau piring yang baru.

§ Aluminium

Kaleng bekas makanan dan minuman dapat dimanfaatkan kembali sebagai kaleng pengemas

§ Baja

Baja sisa kontruksi bangunan akan berguna sebagai bahan baku pembuatan baja baru.

§ Plastik

Limbah plastic dapat dilarutkan dan diproses lgi menjadi bahan pembungkus (pengepakan) untuk berbagai keperluan. Misalnya, dijadikan tas, botol minyak pelumas, botol minuman, dan botol shampoo.

2. Macam-macam Limbah yang Dapat Dimafaatkan tanpa Proses Daur Ulang

Sebagian limbah ada yang dapat dimanfaatkan kembali tanpa mengalami proses daur ulang. Artinya, limbah ersebut dapa dimanfaatkan secara langsung, yaitu sebagai berikut:

§ Ampas tahu

Ampas tahu dapat dijadikan sebagai bahan makanan ternak. Limbah tersebut biasanya mengandung gizi tinggi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan hewan ternak.

§ Eceng gondok

Eceng gondok merupakan limbah yang terdapat diperairan. Eceng gondok dapat dimanfaatkan untuk pembuatan barang kerajinan, seperti tas.

§ Sampah organik

Contoh sampah organic adalah daun-daunan dan kotoran ternak. Kedua jenis sampah itu dapa dimanfaatkan sebagai pupuk alami bagi pertumbuhan dan perkembangan anaman. Keuntunga pemakaian pupuk organic adalah tidak merusak kesuburan tanah.


C. Daur Ulang Limbah


Daur ulang adalah penggunaan kembali material atau barang yang sudah tidak digunakan untuk menjadi produk lain. Berfungsi untuk mengurangi jumlah sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), daur ulang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan akan bahan baku suatu produk.

1. Langkah-Langkah Daur Ulang

Untuk memudahkan proses daur ulang, maka perlu disiapkan langkah-langkah yang sistematis. Berikut ini adalah beberapa langkah praktis untuk melakukan daur ulang sampah.

v Pemisahan

Pisahkan material yang dapat didaur ulang dengan sampah yang harus dibuang ke penimbunan sampah. Pastikan material sampah kosong dan akan lebih baik jika dalam keadaan bersih.

v Penyimpanan

Simpan marerial kering yang sudah dipisahkan tadi ke dalam kotak yang tertutup. Usahakan agar setiap kotak ertutup hanya berisi sau maerial tertentu, misalnya berupa kertas bekas atau botol bekas. Jika akan membuat kompos, timbunlah sampah rumah tangga tersebut pada lokasi pembuatan kompos.

v Pengiriman/penjualan

Barang-barang yang sudah terkumpul dapat dijual ke pabrik-pabrik yang membutuhkan material bekas sebagai bahan baku atau dijual ke pemulung.

3 Daur Biogeokimia

Daur biogeokimia adalah daur yang melibatkan senyawa kimia (senyawa anorganik) yang berpindah melalui organisme sebagai perantara dan kemudian senyawa ini kembali ke lingkungannya. Berfungsinya daur biogeokimia menentukan kelestarian makhluk hidup.

Daur biogeokimia yang akan dibahas meliputi daur nitrogen, daur zat karbon dan oksigen, daur belerang dan daur fosfor.

1. Daur Nitrogen

Nitrogen merupakan salah satu unsur pembentuk asam amino. Asam amino merupakan persenyawaan pembentuk molekul protein. Protein merupakan senyawa yang berguna sebagai penyusun tubuh, misalnya otot, daging, dan sebagai penggiat reaksi-reaksi metabolisme tubuh, misalnya enzim pencernaan untuk mencerna makanan.

Karena petir, nitrogen di udara bersenyawa dengan O2 membentuk nitrat (NO3). Tumbuhan menyerap nitrat dari tanah untuk dijadikan protein. Ketika tumbuhan dimakan konsumen, nitrogen pindah ke tubuh hewan. Urin, bangkai hewan, dan tumbuhan yang mati akan diuraikan oleh pengurai menjadi amonium dan amoniak. Bakteri nitrit Nitrosomonas mengubah amonium menjadi nitrit selanjutnya bakteri nitrat Nitrobacter akan mengubah nitrit menjadi nitrat. Peristiwa pengubahan amonium menjadi nitrat dan nitrit disebut sebagai nitrifikasi. Nitrat akan diserap lagi oleh tumbuhan.

Ada pla bakteri yang mampu mengubah nira atau nitrit menjadi nitrogen bebas di udara, yang disebut denitrifikasi.

Daur Karbon dan Oksigen

Unsur C diserap tumbuhan dalam bentuk CO2. tumbuhan tidak dapat menyerapnya dalam bentuk gula atau zat tepung. Sebaliknya, hewan hanya dapat memanfaatkan C dalam bentuk persenyawaan organic. Unsur c dan o selalu terlibat dalam proses respirasi dan fotosintesis, yaitu dalam bentuk CO2 dan O2. Oleh karena itu, membahas daur karbon pada dasarnya juga membahas daur oksigen.

Daur karon diawali penyerapan CO2 oleh tumbuhan dan dijadikan persenyawaan organic, seperti glukosa, melalui proses fotosintesis. Selanjutnya glukosa disusun menjadi amilum, kemudian amilum diuah menjadi senyawa gula yang lain, lemak, protein dan vitamin. Pada proses pernapasan tumbuhan, dihasilkan lagi CO2 dan O2. dengan demikian, daur karbon terpendek terjadi pada tumbuhan-lingkingan-tumbuhan. Demikian pula daur oksigen.

Hewan mendapatkan karbon setelah memakan tumbuhan. Tubuh hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan menjadi karbondioksida, air dan mineral oleh pengurai. Demikian seterusnya daur karbon itu berlangsung. Daur karbon ini merupakan daur karbon terpajang yang berlangsung melalui tumuhan-hewan-pengurai-karbondioksida di udara-tumbuhan.

Daur hidrologi (air)

Air sangat penting artinya bagi makhluk hidupkarena air berfungsi sebaai pelarut kation dan anoin, pengaur suhu tubuh, pengatur tekanan osmotic sel, dan bahan baku untuk fotosinesis.

Air laut, danau dan sungai yang terkena cahaya matahari akan menguap. Tumbuhan da hewan juga mengeluarkan uap air. Uap air akan membumbung ke atmosfer dan berkumpul membentuk awan. Karena tiupan angina, awan akan bergerak menuju ke permukaan daratan. Pengaruh suhu yang rendah mengakibakan terjadinya kondensasi uap air menjadi titik-titik air hujan. Air hujan yang turun di permukaan bumi sebagian meresap ke dalam anah, sebagian dimanfaatkan tumbuhan dan hewan, sebagian yang lain mengalir ke permukaan tanah menjadi sungai-sungai, dan sebagian lagi menguap menjadi uap air yang akan turun kembali bersama air hujan.

Daur Fosfor

Fosfor merupakan bahan pembentuk tulang pada hewan. Semua makhluk hidup memerlukan fosfor karena digunakan sebagai pembentuk DNA, RNA, protein,energi (ATP) dan senyawa organk lainnya. Denga daur sebagai berikut.

Di dalam tanah terdapat fosfat anorganik yang dapat diserap tumbuhan. Hewan mendapatkan fosfor setelah memakan tumbuhan. Tumbuhan dan hewan yang mati, fses, dan urinnya akan terurai menjadi fosfat organic. Oleh bakteri, fosfat organic akan diubah menjadi fosfat anorganik yang dapat diserap tubuh.